Menjadi Tim Medis di Kawasan Perang adalah Panggilan Hati

JAKARTA – Menjadi tim medis yang berada di medan perang adalah panggilan hati, kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr. dr. Moh. Abid Khumaidi,SpOT. Karena ketika tenaga medis harus berkecimpung di kawasan konflik, maka tak hanya keahliannya yang dibutuhkan, tapi juga semangat dan keberanian. 

Dua hal inilah yang menjadi modal bagi dua dokter "spesialis medan perang", Dr. dr. Idrus Paturusi, SpOT dan Ketua Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad. Keduanya beberapa kali terjun ke daerah konflik termasuk Afganistan dan Palestina.

Dr. dr. Idrus Paturusi, SpOT (tengah) saat tiba di Afganistan setelah menempuh perjalanan 30 jam dengan pesawat hercules. (dok.pribadi)

 Meski dibutuhkan keberanian, dr. Abid mengingatkan pentingnya keselamatan diri saat bertugas menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik. 

“Saat kita masuk ke daerah potensi perang, ada yang harus diperhatikan yaitu safety firstSafety untuk kita, safety untuk masyarakat, jangan sampai kita justru jadi korban di sana,” kata dr. Abid dalam media brifieng PB IDI akhir pekan kemarin.

Pengalaman Pertama di Kawasan Perang

Pengalaman berada di medan perang pernah dialami Prof Dr. dr. Idrus Paturusi, SpB, SpOT(K). Idrus pernah menjadi salah satu tim medis yang terbang ke Afganistan pada 2001 saat terjadi konflik dengan Taliban. Saat itu Amerika Serikat mengirim pasukan militer untuk menggulingkan Taliban dari kekuasaannya di Afganistan. Konflik pun tidak terhindarkan.

Idrus bersama tim medis Indonesia berangkat dari Makassar pada 29 Oktober 2001. Mereka didampingi Jusuf Kalla, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dari Jakarta menuju ibu kota Pakistan, Islamabad.

Selain Jusuf Kalla, dalam rombongan juga ada anggota DPR RI Andi Mattalatta dan Malkan Amin, serta Sekretaris Umum MUI Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA.

“Kami berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat Hercules selama hampir 30 jam baru sampai di Islamabad. Waktu itu kami juga  membawa bantuan untuk orang-orang di Afganistan,” kenang Idrus.

Tim medis Indonesia sempat beristirahat selama seharian penuh di sebuah hostel sebelum melanjutkan perjalanan ke Afganistan. Di tengah ketenangan dan cuaca yang dingin, tiba-tiba tim medis dikejutkan dengan suara ledakan bom yang menggelegar beberapa kali. Mereka yang baru pertama kali berada langsung di kawasan konflik tentu merasa khawatir.

Jusuf Kalla bersama rombongan tim medis dari Indonesia di Afganistan pada 2001. (dok.pribadi)

“Getarannya terasa sampai ke ranjang yang ditempati. Jantung serasa mau copot setiap kali bom meledak. Suara pesawat tempur AS menderu-deru dengan nyaring dan rasanya seperti terbang hanya sejengkal dari atap hostel,” kenang Idrus.

“Gelegar ledakan bom dan raungan pesawat tempur membuat beberapa anggota tim medis Indonesia menjadi tidak bisa tidur. Ini pertama kali mereka benar- benar berada di wilayah tempur yang sesungguhnya, dengan suasana yang diliputi suara pesawat tempur yang terbang rendah dan ledakan bom di mana-mana,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin itu.

Dokter Idrus yang sudah beberapa kali menjadi tim medis di kawasan perang, menyebut apa yang dia alami di Afganistan tidak seberat dengan apa yang terjadi di Gaza saat ini.

“Apa yang terjadi di Afganistan jika dibandingkan dengan di Gaza, mungkin hanya 1/10-nya. Apa yang terjadi di Gaza sekarang ini luar biasa karena sudah lebih dari 10 ribu,” ujarnya.

Suara Bom jadi Pengantar Tidur

Lain lagi cerita yang dibagikan Ketua Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad. Dokter yang sudah bergabung dengan MER-C sejak 1999 ini merupakan tokoh penting dalam membuka akses kesehatan di Gaza. MER-C sendiri sudah berkomitmen memberi bantuan ke Palestina sejak 2007.

“Palestina merupakan program abadi kita,” ujar Sarbini saat berbagi pengalamannya melalui zoom.

Pada 2007 pria yang akrab disapa dr. Ben ini diutus untuk membuka jalan ke Palestina. Selama sembilan bulan lamanya Sarbini bekerja keras dari Mesir ke Gaza serta menghadapi tantangan besar demi mendapat izin melintasi Sinai, daerah operasi militer yang terbatas.

“Saat itu hanya sebatas wacana, tidak ada yang konkret. Kita harus memutuskan untuk merintis jalan, apa yang harus  kita lakukan dan apa yang harus kita tempuh agar bisa masuk ke Gaza,” ucapnya.

Pada serangan Israel ke Gaza di 2008, MER-C bersama Departemen Kesehatan Indonesia mengirim bantuan terdiri dari tim medis, termasuk Sarbini, di tengah kondisi yang sulit.

“Serangan itu luar biasa, suara bom di mana-mana, tapi tidak ada operasi darat. Ini adalah serangan yang intens,” kata Sarbini.

Dokter dari tim medis Indonesia membantu memeriksa pasien korban perang di Afganistan. (dok.pribadi)

Ketika awal tiba di Rumah Sakit Al-Shifa, dr. Sarbini mengaku sempat takut mendengar suara drone dan menuver pesawat temput setiap malam. Namun lama-kelamaan ia menikmatinya bahkan seperti menjadi pengantar tidur.

"Awalnya mengerikan tapi tiga empat hari kok lama-lama menikmati, jadi penghantar tidur," terangnya.

Warga Palestina, khususnya Gaza, sudah berulang kali menghadapi perang, meski ini disebut sebagai konflik Hamas-Israel terbesar sejak 2014.  Korban meninggal dunia serangan Israel di Gaza tembus 11.000 orang, termasuk 4.506 anak. Tapi Sarbini mengaku kagum karena masyarakat di Gaza tetap tenang meski menghadapi berbagai kesulitan.

“Mereka ini sudah mengalami perang begitu lama sehingga genetik mereka lebih adaptasi dengan situasi,” tuturnya.

Tak hanya memberi bantuan medis, Sarbini juga terlibat dalam misi kemanusian lain yaitu mencari asisten rumah tangga asal Indonesia yang ditahan. Ia bahkan harus mendatangi penjara yang penuh dengan bom fosfor.

Dr Sarbini mengatakan, ini adalah sebuah pengalaman yang mengajarkan tentang keberanian, ketahanan, dan solidaritas kemanusiaan.

"Ini bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan kemanusiaan yang harus dijawab dengan hati dan keberanian."

Berawal dari misi kemanusiaan pada 2007 tersebut, MER-C kemudian membangun Rumah Sakit Indonesia di Gaza pada 2012, yang dananya berasal dari sumbangan masyarakat Indonesia. RS Indonesia merupakan rumah sakit kedua terbesar di Gaza setelah Al-Shifa.

Namun karena serangan Israel, kondisi RS Indonesia kacau dan saat ini belum mendapat aliran listrik dan pasokan bahan bakar. Tim medis bahkan harus menggunakan senter untuk melakukan perawatan.