Fenomena Bunuh Diri di Korea Selatan, Ini Kata Pakar Epidemiologi Sosial
JAKARTA - Angka kasus bunuh diri wanita muda Korea Selatan meningkat sebesar 5 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir. Di antara negara-negara maju yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dengan sekitar 14 ribu orang meninggal akibat bunuh diri pada tahun 2018 lalu.
Kendati, dari segi perbandingan, pria masih lebih sering meninggal karena bunuh diri daripada wanita, dengan perbandingan 2:1. Namun, angka wanita yang mencoba bunuh diri lbih banyak.
Melansir Deutsche Welle, pakar Epidemiologi Sosial Universitas Chung-ang Jang Soong-nang mengatakan, ada beberapa faktor yang mendorong fenomena ini, yakni kemiskinan, penganggurang, ketidaksetaraan gender dan kekerasan berbasis gender, konflik generasi, rumah tangga dengan satu orang pola asuh yang buruk, kesejahteraan sosial yang tidak memadai, hingga persaingan.
Lebih jauh Jang menerangkan, terkait dengan bunuh diri di kalangan selebritis, media sosial mengambil peran. Segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan selebriti diungkapkan, dimanipulasi, dikritik dan terkadang - didorong oleh politik identitas - menunjukkan kebencian.
Jang mengatakan, peningkatan bunuh diri bukan karena apa yang disebut efek Werther, dengan alasan bukan tren peniru. Apa yang terlihat di Korea Selatan adalah peningkatan berkelanjutan dalam kasus bunuh diri wanita, dengan banyak penyebab yang saling terkait, kata ahli tersebut.
Selebritis korea
Ya, kasus bunuh diri di kalangan selebritis muda di Korea memang terjadi dalam waktu berdekatan beberapa tahun terakhir. Pada 23 Januari lalu, aktris dan model Song Yoo-Jung meninggal mendadak, dengan laporan medis awal menunjukkan ia bunuh diri.
Sebelumnya, di Bulan September tahun lalu ada aktris Oh In-hye yang juga mengakhir hidupnya. Sementara, dua sahabat Goo Hara dan Sulli mengakhiri hidupnya dalam waktu berdekatan. Sulli pada 14 Oktober 2019, Hara pada 24 November 2019.
Tak hanya wanita, ada Kim Jong-hyun, Idol K-pop pria dari grup SHINee yang mengakhiri hidupnya pada Desember 2017. Ada banyak alasan di balik kondisi yang terkadi.
Untuk Yoo-jung dan In-Hye mungkin karena karirnya yang meredup. Sementara bagi Sulli dan Hara, lebih karena tekanan hidup di mata publik.
Keputusan Sulli untuk tidak mengenakan bra setelah bergabung dengan kelompok feminisme, membuat ia mendapat hujatan di dunia maya yang membuatnya depresi. Sulli yang memutuskan keluar dari manajemen yang menaunginya, mengungkap kelemahan masyarakat Korea Selatan, kesetaraan gender.
Setelah Perang Korea berakhir, Negeri Gingseng menikmati perkembangan ekonomi yang pesat. Tapi apa yang disebut Keajaiban di Sungai Han tidak terjadi tanpa pengorbanan yang besar. Cita-cita pengorbanan itu, ditambah dengan klasisisme, ageisme, dan patriarki dalam masyarakat, menciptakan rintangan yang tidak dapat diatasi bagi wanita muda yang modern, mungkin ambisius dan tidak konvensional.
Jalan menuju sukses dilihat dari segi pendidikan, tergantung pada merek institusi yang didatangi, seperti universitas "SKY". Untuk lulusan Universitas Nasional Seoul, Korea dan Yonsei, pintu terbuka. Bagi yang lain, ini lebih merupakan perjuangan.
"Ada persaingan tanpa akhir. Mereka hanya menjalani hidup sehari-hari. Menjaga hidup itu sendiri sangat sulit, itu penderitaan, dan satu-satunya kebahagiaan yang mereka rasakan adalah dalam hal-hal yang sangat kecil seperti makan sesuatu yang enak," kata Jang.
"Adapun segala sesuatu dalam hidup, hal-hal yang tak tertahankan, tangguh, dan kompetitif. Dan ketika mereka lulus dari universitas, budaya kerja Korea Selatan yang patriarkal bisa sangat menindas,".
Belum usai dengan permasalahan di atas, Pandemi COVID-19 datang dan dampaknya dirasakan oleh anak muda Korea Selatan, khususnya perempuan. Saat pandemi melanda para paruh pertama tahun 2020 lalu, kasus bunuh diri perempuan muda melonjak 30 persen. Konsekuensi sosial dari krisis kesehatan pun semakin membebani perempuan muda.
Baca juga:
Kendati secara ekonomi lebih baik, dengan penurunan PDB hanya 1 persen, namun tingkat pengangguran kaum mudah naik menjadi 25 persen dari semula 20 persen.
Menurut Jang, pencegahan bunuh diri saja tidak cukup, sebab akar masalah orang untuk bunuh diri di sini adalah ketidaksetaraan sosial yang mengakar.
"Ini membutuhkan solusi jangka menengah hingga panjang. Lapangan kerja dan dukungan ekonomi untuk kaum muda berusia 20-an dan 30-an, dan lebih banyak dukungan untuk keluarga muda dengan anak-anak," pungkasnya.