Menggali Potensi Sumber Daya Alam Indonesia dari Tambang Nikel

JAKARTA - Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, di antaranya bahkan menjadi cadangan nikel terbesar di dunia. 27 persen pasar nikel dunia dikuasai Indonesia. 

Hanya saja, kini telah terjadi pergeseran dari energi konvensional menjadi sumber daya energi yang bisa diperbarukan. Salah satunya penggunaan baterai lithium, sebagai sumber energi listrik ramah lingkungan.

Indonesia pun memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan industri berbasis nikel di masa depan. Dengan potensi besar ini diharapkan Indonesia bisa menjadi negara maju dengan berbasis industri baterai. 

Melihat potensi itu, pemerintah dengan tegas menyampaikan Indonesia tidak akan mengekspor nikel secara mentah sebab fokusnya pada nilai tambah nikel yang jauh lebih berharga. Hal ini dilihat dari dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Di mana pemerintah akan melakukan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel dari 2022 menjadi 1 Januari 2020. Sayangnya, larangan ini tidak didukung dengan regulasi yang memberi perlindungan pada pengusaha tambang. Hal ini membuat penambang dalam negeri kesulitan menjual produknya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin menyebut, ada 3,8 juta ton nikel dengan kadar 1,7 persen yang tidak jelas statusnya, akibat larangan ekspor bijih nikel atau ore sejak awal tahun 2020.

Meidy mengatakan, jika penambang memaksakan diri untuk beraktivitas menambang dan menjual ore dengan kadar 1,7 persen ke smalter lokal, harga yang ditawarkan relatif rendah dibandingkan harga patokan mineral (HPM) free on board (FoB).

"Artinya 1,7 tidak diterima smelter, kalau ekspor menerima berarti kita masih mendapatkan profit. 1,7 FOB terakhir kami masih menjual di 46 dolar. 1,7 diterima smelter lokal 10 dolar udah bagus, itu pun kalau diterima," katanya, dalam diskusi bertajuk Prospek Industri Nikel Dalam Negeri, di Sahid Sudirman Center, Jumat, 28 Februari.

Menurut Meidy, smelter seharusnya bisa menyerap nikel dengan kadar 1,7 persen atau lebih rendah. Sebab, sebelum akhirnya dilarang pemerintah, banyaknya permintaan dari luar terhadap nikel nasional.

"Smelter bisa enggak terima di bawah 1,8? sangat amat bisa. Buktinya kita ekspor kemarin 1,65 semua diterima. Malah buyer berbondong-bondong datang. Kenapa smelter yang sudah berdiri di sini terlalu banyak spek permintaan yang aneh-aneh? sedangkan smelternya sendiri sama kan dari yang di luar maupun yang di sini," jelasnya.

"Kenapa pada saat smelter sudah berdiri di sini kami semakin terpuruk, semakin jatuh, dan semakin habis? Seharusnya kami penambang makin hidup dong? karena smelter sudah ada memotong biaya-biaya cost logistik, ekspor," lanjutnya.

Diskusi publik tambang (Mery Handayani/VOI)

Larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah atau di bawah 1,7 persen, kata Meidy, tak diiringi oleh daya serap smelter dalam negeri. Smelter lokal saat ini tak mau menyerap nikel berkadar rendah di bawah 1,8 persen. Akibatnya, para penambang banyak yang melakukan tambang ilegal.

Agar dapat hidup, kata Meidy, saat ini para penambang harus mencari dan menjual nikel berkadar 1,9 pesen. Nikel yang berkadar 1,9 persen yang dikirim ke smelter, tetap saja ditolak oleh smelter karena hasil pemeriksaan surveyor yang ditunjuk disebut kadarnya di bawah 1,8 persen.

"Smelter tak pernah menggunakan surveyor yang ditentukan Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM. Kami bayar royalti, bayar kewajiban dan lain-lain menggunakan surveyor yang ditentukan pemerintah. Smelter pakai surveyor lain, ujung-ujung kadar kami di-reject," ujarnya.

Karena itu, Meidy meminta, kepada pemerintah untuk menengahi masalah ini dengan pihak pengusaha smelter. "Kalau penambang enggak hidup gimana caranya smelter bisa hidup? potensi kadar nikel Indonesia memang luar biasa besar, tapi kalau smelter ini hanya menggunakan kadar 1,8 persen sampai 5 tahun pasti smelter ini pasti tutup semua," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming mengatakan, nikel berkadar 1,8 persen ini berada di ujung tanduk karena belum ada kepastian harga patokan mineral yang diterima smelter, yang diatur regulasinya apabila tak sesuai dengan HPM maka akan mendapatkan sanksi.

"Hal inilah yang diharapkan dari pemerintah untuk dapat segera merumuskan harga patokan nikel," katanya.

Data dari 30 perusahaan tambang, diperoleh angka rerata Harga Patokan Produksi (HPP) bijih nikel sebesar 20,34 dollar Amerika metrik ton. Sehingga di pasar domestik bijih nikel kadar 1,8 persen dihargai 20 dollar Amerika metrik ton. Hal itu dinilai akan membuat para penambang menanggung kerugian dan belum lagi biaya lain yang timbul dari proses ini.

Harga internasional saat ini bijih nikel 1,8 persen FoB Filipina dihargai antara 59 dollar Amerika per wett metrik ton (wmt) hingga 61 dollar Amerika wmt. Sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38 dollar Amerika wmt hingga 40 dollar Amerika wmt merupakan harga yang wajar.

Ilustrasi penambangan (dok. Istimewa)

Menanggapi keluhan pengusaha nikel, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) akan menerbitkan peraturan mengenai tata niaga dan harga nikel di dalam negeri pada Maret 2020. Peraturan itu akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) antara penambang dan smelter sehingga sesuai dengan perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, peraturan itu bertujuan untuk mengakomodasi keinginan penambang dan smelter dalam transaksi nikel.

"Bentuknya Kepmen (Keputusan Menteri), karena ini kebutuhan yang harus segera diakomodir dari keinginan para penambang sekaligus membenahi tata kelola jual beli nikel," ucapnya.

Peraturan itu akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) antara penambang dan smelter sehingga sesuai dengan perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Mardani H. Maming mengharapkan HPM yang ditentukan oleh pemerintah dapat memberikan kebaikan bagi penambang maupun pengusaha smelter.

"HPM hendaknya diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, terutama negara dan bangsa Indonesia," ujarnya.