JAKARTA - Kementerian BUMN telah menerima aset sitaan dari Kejaksaan Agung berupa tambang batu bara milik tersangka kasus gagal bayar Jiwasraya. Aset milik tersangka Heru Hidayat itu bernama PT Gunung Bara Utama yang lokasinya berada di Kutai Kalimantan Timur.
Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Kementerian BUMN, Arya Sinulingga, di Jakarta 28 Februari. "Ini (tambang batu bara), sudah dititipkan kepada Kementerian BUMN, kepada kami, untuk dikelola," ujar Arya.
Arya menuturkan, penyitaan ini adalah kerja cepat yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Ini adalah salah satu aset yang menurut Kejagung hasil dari penyelidikan kasus gagal bayar Jiwasraya.
"Jadi kami mulai masuk ke perusahaan tambang ini dan kami sudah mulai menunjuk PT Bukit Asam (Persero) Tbk untuk mengelolanya. Jadi ini kerja nyata bahwa kami kerja cepat, baik Kejagung maupun BUMN tidak mau lama-lama, bahkan kalau terbukti secepatnya kita ambil alih asetnya.
Heru Hidayat merupakan salah satu tersangka dalam kasus korupsi dan kolusi pengelolaan investasi di Jiwasraya. Penyitaan aset ini sekaligus menjawab keinginan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang mendesak tim penyidik Kejagung untuk menggeledah dan menyita aset milik tersangka Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.
BACA JUGA:
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan bahwa penggeledahan dan penyitaan aset yang dilakukan tim penyidik belakangan ini, hanya fokus ke tersangka Benny Tjokrosaputro dan Hendrisman Rahim, sementara tersangka lainnya seperti Heru Hidayat tidak dikejar dan disita.
Padahal, Boyamin meyakini bahwa tersangka Heru Hidayat menerima dana hasil korupsi cukup besar dari PT Asuransi Jiwasraya dibandingkan empat tersangka lainnya.
Selain Heru, Benny Tjokrosaputro, komisaris PT Hanson Internasional Tbk juga ditetapkan sebagai tersangka.
Perusahaan asuransi pelat merah itu diketahui banyak menempatkan dana investasi dengan profil risiko tinggi. Di antaranya, saham sebanyak 22,4 persen atau Rp5,7 triliun dari aset keuangannya.
Akibatnya, Jiwasraya menanggung defisit ekuitas Rp29 triliun karena tingginya liabilitas perusahaan, yakni sebesar Rp51 triliun. Padahal, aset perusahaan per 2019 (unaudited) cuma Rp22 triliun.