Mahkamah Konstitusi Pernah Tak Punya Kantor Tetap di Era Jimly Asshiddiqie
JAKARTA - Penyusunan produk hukum tak pernah mudah. Penyusunan Undang-Undang (UU), apalagi. Banyak masukan dan pemikiran yang memengaruhinya. urusan politik, misalnya. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengamaninya.
Megawati ingin ada suatu lembaga pengujian UU. Mahkamah Konstitusi (MK) pun lahir. Jimly Asshiddiqie didaulat sebagai ketua. Namun, laku hidup MK tak mulus-mulus saja. MK sempat tak punya kantor tetap di awal kuasanya. Kantor MK pindah-pindah.
Gagasan pengujian UU bukan barang baru. Tokoh bangsa pernah berdebat kencang terkait urusan pengujian UU di awal Indonesia merdeka. Keinginan itu supaya segala macam produk hukum – UU - dapat diuji muatannya supaya sesuai dengan norma konstitusi.
Bermuatan politik atau kepentingan rakyat. Narasi pengujian UU pun tak kunjung menemukan kata sepakat. Dinamika politik jadi salah satu faktornya. Namun, semuanya berubah kala era reformasi. Era itu membuat pemerintah mulai melanggengkan amandemen UUD 1945.
MK pun diadopsi ke dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001. Rumusan terkait pengujian UU hadir dalam ketentuan pasal 24 ayat (2), pasal 24C, dan pasal 7B Undang-undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Presiden Megawati pun khawatir dan tak sabaran. Ia ingin MK dapat menyelesaikan sengketa dalam Pemilu. Pun yang terpenting MK dapat menjadi medium yang menguji UU. Pemerintah menganggap MK dapat membuat UU yang digodok DPR dapat dilanggengkan dengan norma-norma konstitusi.
Semuanya dilanggengkan supaya UU yang hadir tak melenceng dari yang dicita-citakan UUD 1945. RUU MK pun disiapkan. Sekalipun pemerintah juga mendapatkan kritik sana sini.
Hasilnya gemilang. DPR dan pemerintah menyetujui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden. Kehadiran UU lalu menjadi landasan dari MK yang resmi terbentuk pada 16 Agustus 2003.
Baca juga:
“Tersirat kekhawatiran Presiden dalam surat itu bahwa MK sebagai lembaga peradilan akan mengambil fungsi politik. Contohnya, kewenangan Mahkamah dalam memutus perkara dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden. Di mata Presiden, penyelesaian masalah seperti ini lebih merupakan proses politik daripada suatu proses hukum.”
“Juga, Kompetensi Mahkamah dalam pengujian undang-undang dikhawatirkan akan menghadirkan nuansa politik, baik dalam proses maupun hasil akhirnya. Ujungnya, Presiden Megawati mengusulkan agar kewenangan MK diwujudkan secara bertahap. Pada tahap awal, lembaga ini memiliki kompetensi memeriksa dan memutuskan perkara yang timbul karena penafsiran UUD dalam kehidupan bernegara,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Terusik Amanat Megawati (2003).
Pindah-Pindah Kantor
Kehadiran MK disambut dengan gegap gempita. Rakyat Indonesia pun jadi punya harapan menggugat kala ada UU yang bermuatan politik. Apalagi, UU yang banyak mudaratnya, ketimbang manfaat. Kepercayaan itu karena MK langsung dikomandoi oleh salah satu pakar hukum tata negara terbaik Indonesia, Jimly Asshiddiqie.
Kepemimpinan Jimly pun disegani banyak pihak. Sekalipun MK masih kurang di sana-sini. Urusan kantor tetap saja tak punya. Padahal, segala macam gugatan mulai masuk ke MK. Jimly kemudian bergerak cepat. Ia sempat mengajukan sewa ruangan di Hotel Santika Petamburan, Jakarta Barat.
MK berkantor di hotel tak lama. Sebab, Jimly mengusulkan agar kantor sementara harus cukup besar dan luas. Langkah itu diambil supaya kegiatan MK dapat maksimal. Gedung Plaza Centris, Jakarta pun dipilih. Namun, tempat untuk kebutuhan persidangan dilanggengkan tak hanya di satu tempat. Alias, beda-beda.
Kadang gedung persidangan dilanggengkan di ruangan di Mabes Polri. Kadang ke ruangan di Radio Republik Indonesia (RRI). Kondisi itu dilanggengkan dengan suka cita. MK baru benar-benar bisa menempati kantor dan persidangan sendiri baru pada 2004.
“Sementara untuk kebutuhan kantor pun, pada awalnya MK harus menyewa ruangan di Hotel Santika di kawasan Petamburan, Jakarta. Berikutnya, MK berkantor sementara di Gedung Plaza Centris, Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Untuk kebutuhan persidangan, MK meminjam Gedung Nusantara IV (Pustaka Loka) Kompleks DPR/MPR RI, salah satu ruang di Markas Besar Polri, dan juga salah satu ruang di Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI).”
“Barulah pada tahun 2004 MK bisa mendapatkan ruangan perkantoran dan persidangan yang representatif setelah menempati gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 7, Jakarta Pusat,” ujar Sidik Pramono dalam buku 60 tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016).