Indonesia Bersedia Bayar Utang Penjajah Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 24 Oktober 1949

JAKARTA – Sejarah hari ini, 74 tahun yang lalu, 24 Oktober 1949, pemerintah Indonesia terpaksa bersepakat membayar utang penjajah Belanda, termasuk modal Agresi Militer I dan II. Keputusan itu diambil dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Sebelumnya, Indonesia lebih memilih untuk melanggengkan upaya diplomasi, ketimbang angkat senjata. Armada perang Indonesia yang belum maksimal jadi muaranya. Kondisi itu membuat Indonesia tak mendewakan siasat angkat senjata.

Keberanian tokoh bangsa melanggengkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tak membuat penjajah Belanda gentar. Keinginan mereka untuk menguasai Indonesia kembali terbuka lebar. Semua itu karena Belanda menganggap negara baru merdeka kekuatannya belum seberapa.

Alih-alih membangun armada perang, membangun pemerintahan saja sulit. Belanda pun mulai melanggengkan siasat. Belanda sengaja membonceng sekutu –Inggris—membawa sebagian besar pasukannya masuk Indonesia.

Belanda lewat panji pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) mulai melanggengkan teror. Barang siapa yang berpapasan dengan NICA, niscaya hidupnya nelangsa. Kaum bumiputra bak samsak NICA. Pun kemudian letupan perlawanan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Suasana Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yang berlangsung dari 23 Agustus-2 November 1949. (Wikimedia Commons)

Pemerintah pun mulanya terbakar semangat untuk melanggengkan narasi angkat senjata. Namun, opsi itu bukan yang terbaik. Armada perang Indonesia tak seberapa. Kondisi itu membuat Sutan Sjahrir bergerak. Ia mulai memainkan siasat diplomasi.

Siasat itu nyatanya mampu berbicara banyak. Ragam pertemuan yang dilakukan mampu membuat Indonesia diuntungkan. Dari Perjanjian Lingarjati hingga Renville. Upaya Diplomasi membuat Indonesia mampu didukung banyak negara di dunia.

“Menoleh kembali ke tahun-tahun pertama peperangan kemerdekaan kita, saya kini (meskipun waktu itu sebagai seorang muda juga sering merasa tidak sabar dengan politik perundingan) tak begitu yakin dengan sikap kawan-kawan yang menganut ‘paham keras.’ Saya kini cenderung membenarkan politik yang digariskan Bung Sjahrir pada masa itu.”

“Cobalah bayangkan dengan kekuatan persenjataan apa kita pada masa itu akan dapat menghadapi kekuatan perang Inggris dan Belanda, yang menguasai udara dan lautan, angkatan perang serikat yang baru tampil penuh kemenangan gemilang dari sebuah peperangan dunia? Kini setelah kita tidak perlu menghadapi bahaya maut lagi, tentu saja mudah mengatakan bahwa politik ‘garis keras’ akan lebih efektif daripada politik perundingan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).

Puncak perundingan dengan Belanda-Indonesia adalah KMB di Belanda. Perundingan yang dilanggengkan 23 Agustus-2 November 1949 jadi panggung Indonesia untuk mendapatkan pengakuan akan kedaulatannya.

Pasukan Belanda memasuki Yogyakarta dalam Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. (Wikimedia Commons/National Archief)

Diskusi pun berlangsung alot. Jual-beli ide kemudian tertuang pada perundingan itu. Belanda mulai melanggengkan wacana akan memberi Indonesia kedaulatan (tanpa Papua), asal empunya kuasa mau menanggung utang milik mereka.

Indonesia awalnya tak sudi membayar. Apalagi, harus membayar biaya Agresi Militer yang notabene menyengsarakan rakyat Indonesia. Perdebatan berlangsung alot. Indonesia akhirnya mengalah demi urusan lainnya lancar. Indonesia bersepakat akan membayar utang Belanda. Keputusan itu dilanggengkan pada 24 Oktober 1949.

Opsi pembayaran itu lalu mendapatkan kritik dari sana sini. Banyak pula pihak yang menyebut pembayaran utang jadi hal yang paling merugikan Indonesia, sedang Belanda dapat untung. Padahal, Belanda yang harusnya membayar ganti rugi dan minta maaf karena telah menguasai Indonesia berabad-abad lamanya. 

“Mengenai masalah utang piutang, pihak Belanda menuntut agar Indonesia menanggung utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan, sedangkan pihak Indonesia hanya bersedia menanggung bagian sampai Maret 1942 karena bila pelunasan utang tersebut ditanggung sampai dengan tahun 1949, artinya Indonesia harus membiayai sendiri penyerangan-penyerangan Belanda yang dilakukan terhadap RI.”

“Kedua belah pihak kembali menemui jalan buntu. Melalui sebuah panitia yang beranggotakan Ir. Djuanda (wakil RI), Mr. Indrakusuma (wakil BFO) dan Hirschfeld (wakil Belanda), pada 24 Oktober 1949 membuat sebuah persetujuan bahwa RIS akan mengambil alih pinjaman-pinjaman Hindia Belanda yang semuanya berjumlah 4,3 miliar gulden,” terang Iin Nur Insaniwati dalam buku Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968 (2002).