Kontroversi Pengangkatan Timur Pradopo Sebagai Kapolri dalam Memori Hari Ini, 22 Oktober 2010

JAKARTA – Memori hari ini, 13 tahun yang lalu, 22 Oktober 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melantik Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolri yang baru. Pelantikan itu dilanggengkan di Istana Negara, Jakarta. Pemilihan itu dianggap terburu-buru dan terkesan politis.

Sebelumnya, Timur dikenal sebagai polisi yang berpengalaman. Ia pernah jadi saksi dari tragedi 1998. Kariernya pun moncer di era Presiden SBY. Kenaikkan pangkatnya, apalagi. Ia naik pangkat dalam waktu singkat.

Timur Pradopo dan kerusuhan 1998 adalah hal yang tak dapat dilepaskan. Ia jadi saksi peristiwa yang mengubah jalannya sejarah Indonesia. Kala itu ia masih menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat. Pangkatnya Letnan Kolonel.

Tugasnya jelas. Timur berdiri untuk mengamankan wilayah tugasnya dari benih-benih kerusuhan. Namun, kuasa Timur tak mampu mengantisipasi bentrok pengunjuk rasa di Universitas Trisakti. Empat mahasiswa Trisakti tewas.

Kejadian itu mampu menjadi pemantik mahasiswa lainnya bergerak melengserkan pemerintah Orde Baru (Orba) dari singgasananya. Nasib Timur justru beruntung. Ia bebas dari tanggung jawab. Sekalipun jabatannya berganti-ganti.

Jenderal Timur Pradopo yang pernah menjabat sebagai Kapolri era 2010-2013. (Antara)

Kariernya kian menanjak. Ia mampu menjabat sebagai Kapolda Jabar, kemudian Kapolda Metro Jaya pada 2010. Meskipun tak mulus-mulus amat. Banyak kejadian yang membuat kepemimpinan Timur di Polda Metro terganggu.

Ia pernah dihadapkan dengan kasus rekening gendut. Kasus itu tak kunjung memperoleh kejelasan. Belum lagi urusan kasus lainnya. Alhasil, prestasinya dianggap banyak pihak, biasa-biasa saja. Pun demikian urusan profesionalitasnya tak terlalu menonjol.

“Rekam jejak Timur sendiri tidaklah bersih-bersih amat. Ia, misalnya, dua kali mangkir dari panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai saksi kasus penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 1998. Sebagai Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, prestasi Timur juga tak cemerlang.”

“Ia tak bisa menangkap otak pelaku penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang gencar mengungkap kasus ‘rekening gendut’ polisi, Tama S. Langkun, tak dapat membongkar kasus pelemparan bom molotov ke kantor majalah ini, juga gagal mengantisipasi bentrokan berdarah antarpreman di Jalan Ampera Raya dua pekan silam,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Mengapa Harus Timur (2010).

Perihal takdir tiada yang tahu. Boleh jadi pengamat serta publik menilai Timur sebagai polisi biasa-biasa saja. tapi, tidak untuk pemerintah. Nama Timur justru muncul secara tak terduga sebagai calon Kapolri yang akan menggantikan Kapolri lama, Jenderal Bambang Hendarsi Danuri.

Pencalonan Timur diusulkan begitu cepat. Nyatanya, pencalonannya justru tak menimbulkan pertentangan di antara anggota dewan, dibanding calon lainnya. Anggota dewan pun bersepakat Timur layak menjadi Kapolri. Semesta bak berpihak kepada Timur.

Ia yang notabene Kapolda Metro kemudian mendapatkan promosi kilat. Ia mendapatkan kenaikkan pangkat dalam waktu singkat. Dari jenderal bintang dua hingga jenderal bintang tiga.

Kemudian, bintang empat baru diperoleh oleh Timur kala ia dilantik Presiden SBY sebagai Kapolri di Istana Negara, 22 Oktober 2010. Masalah muncul. Terpilihnya Timur dianggap kontroversi. Publik menilai masih ada calon lebih baik ketimbang Timur. Namun, keputusan pemerintah tak dapat diganggu gugat.

"Komisi III menyetujui untuk memberhentikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang memasuki masa pensiun dan setuju mengangkat Komjen Timur Pradopo sebagai Kapolri," ujar pimpinan Komisi III DPR RI, Tjatur Sapto Edy sebagaimana dikutip Kompas.com, 22 Oktober 2010.