Bincang Bareng Nabila Ishma, Legislator Soroti Bonding Keluarga Untuk Cegah TPKS

JAKARTA -Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah berbicara soal pentingnya ikatan atau bonding keluarga untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hal tersebut ia sampaikan saat berdiskusi dengan influencer yang juga aktivis anak, Nabila Ishma.

Perbincangan mengenai pentingnya peran keluarga dalam mencegah Tindak Pidana Kekerasan Seksual antara Luluk Nur Hamidah dengan Nabila Ishma mencuat dalam program 'Ngobrolin DPR' yang disiarkan melalui live Instagram, Rabu 18 Oktober. Adapun program live instagram itu mengambil tema ‘Bonding Orang Tua dan Anak Untuk Cegah TPKS'.

Dalam program diskusi santai itu, Luluk menyatakan orang tua memiliki kewajiban untuk menciptakan ikatan dengan anak-anaknya. Sebab bonding keluarga yang penuh dengan nilai-nilai moral dapat membuat anak memahami bagaimana menghindari tindak kekerasan seksual.

“Partisipasi keluarga dalam pencegahan tindak pidana kekerasan seksual misalnya bisa diwujudkan dengan menguatkan edukasi dalam keluarga misalnya aspek soal moral soal etika, soal agama, soal budaya,” kata Luluk.

DPR RI sendiri sudah membuahkan sebuah payung hukum yang dibuat dengan semangat untuk mengurangi praktik-praktik kekerasan seksual yakni UU No 12 tahun 2022 tentang TPKS. Meski begitu, UU ini bukan menjadi satu-satunya cara untuk mengentikan fenomena kekerasan seksual yang sudah menjadi momok di Indonesia.

“Karena memang korban kekerasan seksual itu semakin hari tidak semakin sedikit, jadi korbannya itu banyak dan kemudian juga lintas usia. Dari yang termuda itu masih balita,” tuturnya.

“Korbannya tidak pandang jenis kelamin, bisa laki bisa perempuan, tapi yang paling banyak itu memang perempuan di semua kelompok umur,” sambung Luluk.

UU TPKS hadir karena kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah sedemikian daruratnya sehingga dibutuhkan produk hukum khusus berkenaan dengan TPKS. Luluk mengatakan, UU TPKS merupakan beleid yang komprehensif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual hingga penanganan kepada korban dengan sistem layanan terpadu.

“Apalagi pendidikan tentang kesetaraan gender juga belum kuat diberikan kepada kita,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Luluk memandang peran keluarga sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran kepada anak agar dapat menghargai setiap individu terlepas dari apapun gendernya. Jika individu mendapat ajaran moral yang tepat sedini mungkin, hal tersebut akan menjadi modal bagi yang bersangkutan untuk bisa hidup sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika.

"Misalnya tidak boleh merendahkan kalau punya adik perempuan atau sebaliknya, tidak boleh ngebully. Jadi prinsip-prinsip kerja sama, gotong royong, saling respect bahwa manusia punya value atau nilai berharga yang harus dijaga. Ini yang perlu ditanamkan sejak kecil," papar Luluk.

Selain nilai moral dan budi pekerti, orang tua dianggap perlu mengajarkan tentang pendidikan reproduksi pada anak yang materinya sesuai dengan jenjang usia anak. Seperti mengajarkan kepada anak yang masih kecil untuk memahami bagaimana menghormati tubuhnya sendiri maupun tubuh orang lain.

Dengan diajarkan mengenai pendidikan reproduksi, anak sejak kecil akan mendapat pembekalan untuk bisa mengetahui bagian mana saja tubuh yang sensitif dan tidak boleh dilihat dan disentuh selain oleh dirinya sendiri. Luluk juga menilai, pendidikan reproduksi dapat mengajarkan mengenai konsekuensi tentang hubungan seksual di luar nikah.

"Pendidikan reproduksi atau pendidikan seksualitas itu menjadi penting untuk kita menjadi tahu bahwa setiap tubuh kita ini mempunyai fungsi, kemudian punya respons terhadap sesuatu yang kalau kemudian ini tidak dijaga pasti akan menimbulkan masalah,” ungkapnya.

Menurut Luluk, pendidikan dari keluarga yang berkaitan dengan bonding akan lebih efektif ketimbang anak-anak mencari tahu sendiri lewat sarana lain seperti media sosial. Sebab pendidikan langsung dari orang tua akan menjadi paket lengkap karena berisi tentang pengetahuan dan pembelajaran akhlak.

“Jangan sampai anak diajarkan oleh orang lain, oleh sosial media atau dari grup-grup yang sebenarnya toxic," jelas Luluk.

Terkait kesetaraan gender yang juga kerap menjadi isu dalam TPKS, Legislator dari Dapil Jawa Tengah IV ini pun menilai hal tersebut harus ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya. Luluk mengatakan, pemahaman tentang kesetaraan gender harus dilakukan sejak anak masih kecil sehingga anak dapat memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan derajat yang sama.

"Pendidikan tentang kesetaraan gender juga belum kuat diberikan kepada kita, misalnya laki laki memandang perempuan kita yang penuh dengan kuasa atau melihat perempuan itu sebagai pihak yang lemah atau anak kecil sebagai pihak yang lemah itu kemudian pantas menjadi korban," urainya.

Pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak diharapkan menjadi garda terdepan dalam memerangi kekerasan seksual. Hal ini juga sebagai penjaga agar anak bisa mengetahui bentuk-bentuk TPKS karena tanpa modal edukasi yang kuat, individu bisa menjadi pelaku maupun korban TPKS.

“Dan kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan rumah di tempat yang kita rasa paling aman juga sering terjadi. Juga bisa di tempat pendidikan, bahkan lembaga pendidikan itu menempati ruang kedua yang terbesar. Baik di Universitas atau lembaga keagamaan justru kekerasan seksual itu tinggi sekali," terang Luluk.

Lebih lanjut, Luluk mengingatkan agar orang tua terus melakukan pengawasan terhadap lingkungan dan pergaulan anaknya. Apalagi di era kemajuan teknologi yang memungkinkan anak mengakses berbagai konten.

“Bagaimana orang tua mengontrol apa yang diakses anaknya di media sosial. Membuka ruang keterbukaan saat anak bertanya tanpa menghakimi, inilah mengapa ikatan dalam keluarga sangat penting agar dapat menanamkan value pada anak,” ujarnya.

Pernyataan Luluk pun diamini oleh Nabila yang selama ini concern pada isu-isu tentang anak. Menurutnya, kehadiran keluarga sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.

“Jadi tindakan preventif sangat penting, dan pangkal utamanya ada pada keluarga, bagaimana keluarga menciptakan rumah yang aman untuk anak,” timpal Nabila.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini kemudian mengulik tentang bagimana stigma di masyarakat yang kadang menganggap sebelum adanya perkosaan, maka tindakan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Apalagi, kata Nabila, dengan banyaknya kasus di mana korban justru disalahkan saat mengungkap dirinya mengalami TPKS, terutama pada korban perempuan.

"Lalu bagaimana UU TPKS ini yang diciptakan sedemikian rupa, sudah cukup melindungi korban kekerasan seksual. Kita ketahui bersama, banyak sekali korban yang enggan membuat laporan karena merasa malu atau malah takut dianggap berlebihan," tanyanya.

Luluk pun menjelaskan, aturan dalam UU TPKS tegas menyatakan setiap laporan korban kekerasan seksual harus diusut oleh penegak hukum. Untuk itu, ia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak takut melapor apabila mengalami kekerasan seksual.

"Sekarang itu, kekerasan seksual bukan lagi hanya soal pemerkosaan. Bahkan, pelecehan sekalipun baik langsung maupun tidak langsung menjadi hal yang diatur dalam UU TPKS," terang Luluk.

"Apalagi sekarang eranya digital media, ataupun media sosial. Apabila ada pelecehan di area tersebut juga bisa masuk ke dalam ranah UU TPKS," sambungnya.

Berbagai pertanyaan dari netizen pun turut meramaikan program 'Ngobrolin DPR'. Nabila lalu membacakan salah satu pertanyaan untuk Luluk dari penonton live Instagram tersebut.

"Ini ada pertanyaan bu, Bagaimana kalau korbannya itu laki-laki. Apa masuk kekerasan seksual juga?" kata Nabila membacakan pertanyaan netizen.

Luluk kemudian menjawab dengan tegas, semua gender dan latar belakang apapun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Meski memang mayoritas kekerasan seksual adalah perempuan dan anak, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban.

"Korban bisa laki-laki atau perempuan. Kalau kita lihat data memang perempuan lebih rentan. Tapi laki-laki juga bisa jadi korban, terutama anak laki-laki yang dari data diketahui menjadi yang lebih banyak. Jika sudah dewasa pun bukan berarti laki-laki tidak menjadi korban, itu bisa saja terjadi," jawab Luluk.

Dalam kesempatan itu, Luluk juga menerangkan UU TPKS turut mengatur tentang pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Termasuk adanya jaminan dari negara terhadap korban dan pendampingan dari lembaga yang khusus menangani korban untuk memulihkan trauma fisik dan psikologi-nya.

"Korban juga mendapatkan jaminan restitusi atau kemudian denda yang harus dibayarkan oleh pelaku yang harus diberikan kepada korban," ujar anggota Komisi VI DPR RI itu.

“Kehadiran lembaga pendamping akhirnya dijaga oleh undang-undang ini, bahwa lembaga ini harus ada dan penting juga untuk difasilitasi oleh Pemerintah sehingga mereka bisa melakukan fungsi-fungsi pendampingan kepada korban,” tutup Luluk.