Darah Madura Pendekar Hukum Indonesia, Artidjo Alkostar
JAKARTA - Urusan mencari keadilan dan ketertiban tak pernah mudah. Narasi itu dibuktikan dengan 'nyaringnya' potret hukum Indonesia: Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Siapa yang memiliki kuasa berdiri bak pemenang.
Pesimisme kemudian mengiringi penegakan hukum Indonesia. Namun, semuanya berubah kala sosok Artidjo Alkostar muncul ke permukaan. Sosok hakim agung berdarah Madura tak ubahnya pendekar hukum. Musuhnya para koruptor. Ia jadi bukti hukum Indonesia tak dapat dibeli dengan uang.
Artidjo Alkostar lahir dari keluarga berdarah Sumenep, Madura yang kental. ia mensyukuri benar terlahir sebagai etnis Madura. Keuletan dan keberanian orang Madura mengalir deras dalam darahnya. Ia menjelma jadi pribadi yang bernyali tinggi. Nyali itu membuatnya dikemudian hari tak dapat ditekan oleh siapapun.
Penuturan itu bukan pepesan kosong Belaka. Artidjo yang lahir 22 Mei 1948 dulunya terkenal bandel di sekolahnya. Bolos jadi hobinya. Kegiatan merugikan itu akhirnya sampai ke telinga orang tuanya. Ayahnya memahami Artidjo sukar dikendalikan. Siasat pun dimainkan.
Alih-alih menghukumnya sendiri Artidjo, Sang Ayah justru bersekongkol dengan petugas di salah satu kepolisian di Situbondo, Jawa Timur. Keduanya bersepakat supaya Artidjo dijemput dan dijebloskan penjara selama sehari.
Peristiwa itu diamini oleh Penulis buku biografinya Alkostar: Sebuah Biografi (2018), Puguh Windrawan. Hasilnya gemilang. Artidjo melupakan hobi bolosnya. Pun kemudian Artidjo mampu menyelesaikan pendidikan setahap demi setahap. Nyali Artidjo pun makin menyala kala ia mulai belajar hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Ia bukan tergolong mahasiswa yang hanya menghabiskan waktu belajar. Artidjo justru memiliki jalan ninjanya sendiri. Ia memilih untuk aktif sebagai aktivis kampus. Segala macam ketimpangan dan ketidakadilan disuarakannya. Dari urusan kampus hingga nasional.
Ia menyadari benar konsekuensi melawan pemerintah Orde Baru (Orba). Ia pun lulus sebagai sarjana hukum UII. Mimpinya jadi penegak keadilan menyala. Karier pertamanya adalah menjadi tenaga pengajar di UII pada 1976. Pengabdian itu dilanggengkan sembari aktif membantu rakyat kecil lewat panji Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
“Ini tantangan (jadi pengajar) yang menurut dia tak bisa ditolak dan langsung ia sanggupi. Artidjo bahkan tak pernah berpikir berapa gaji yang akan ia terima. Latar belakangnya sebagai aktivis kampus membuat ia tak berjarak dengan mahasiswa. Status boleh berganti, tapi tabiat kesehariannya tak berubah. Artidjo tetap menjadi pribadi yang menyenangkan.”
“Mahasiswa kerap berdiskusi dengan dia layaknya kawan, bahkan diperbolehkan meminjam buku koleksi pribadinya. Tak jarang mereka bersama-sama menonton film India yang diputar di bioskop setempat. Cara mengajarnya berbeda dengan kebanyakan dosen pada waktu itu. Hal itu terpengaruh oleh aktivitasnya sebagai pengurus LBH Yogyakarta yang menangani masalah orang-orang yang terpinggirkan,” terang Puguh Windrawan dalam tulisannya di Majalah Tempo Berjudul Cita-Cita yang Tak Tercapai (2021).
Musuh Para Koruptor
Kapasitas mumpuni Artidjo Alkostar dalam bidang hukum menggelegar ke mana-mana. Menteri Kehakiman era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yusril Ihza Mahendra kepincut. Artidjo dimintanya untuk jadi hakim agung dari jalur nonkarier.
Mulanya, Artidjo menolak. Hukum Indonesia tak bisa diubah, pikirnya. Apalagi peristiwa hakim terima suap bukan barang baru. Yusril bersikukuh Artidjo dapat mengubahnya. Artidjo lalu tertantang jadi salah satu hakim agung di Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2000.
Dewi fortuna bak hinggap dalam hidupnya. Artidjo ditempatkan sebagai Ketua Kamar Pidana MA. Posisi itu bak kanvas yang siap diwarnainya dengan ragam prestasi. Sebagai Ketua Kamar Dagang MA, Ia punya kapasitas memilih perkara yang dianggapnya strategis. Dari pencucian uang, pembunuhan, narkoba, dan korupsi.
Sisanya, perkara lain didelegasikan ke hakim agung lainnya. Hasilnya gemilang. Banyak perkara besar ditanganinya. Ia pernah menangani kasasi kasus korupsi yayasan dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto pada 2001. Ia ngotot memberikan label terdakwa, sekalipun Soeharto sedang sakit.
Popularitasnya semakin menanjak kala ia menangani kasus korupsi. Koruptor yang mulanya dihukum berat, jadi tak berpikir dua kali untuk melanggengkan upaya hukum lanjutan. Dari kasasi hingga peninjauan kembali.
Nama Artidjo kemudian makin mentereng kala dirinya berani mengadili petinggi Partai Demokrat dalam korupsi Hambalang. Kuasanya sebagai hakim tak mampu dibeli. Barang siapa yang merugikan negera dan rakyat, ia beri hukuman setimpal. Alhasil, nama besar petinggi Partai Demokrta seperti Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, hingga Angelina Sondakh diberikan hukuman berat.
Laku hidup lurus itu tetap dilanggengkan sekalipun Artidjo tak lagi jadi hakim agung pada 2018. Ia terus mencoba menegakkan semangat perlawanan terhadap koruptor lewat medium baru. Ia jadi Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2019 hingga ajal menjemputnya pada 2021.
“Perkara yang melambungkan sosok Artidjo di mata publik adalah putusannya atas mantan jajaran pemimpin Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Setelah menerima hukuman ringan dari pengadilan tindak pidana korupsi berupa hanya 4,5 tahun penjara, ditambah denda 25 ribu dolar AS. Pada Januari 2013, putusan Hakim Agung Artidjo dalam upaya hukum lanjutan menambah hukumannya menjadi 12 tahun dan Angelina Sondakh harus mengembalikan 3,42 juta dolar AS dana yang diselewengkan.”
“Kemudian, dalam perkara korupsi yang melibatkan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), KPK menambah dua tahun bagi 18 tahun hukuman penjara yang diterima LHI di samping mencabut hak politiknya untuk memangku jabatan publik dan harus membayar denda Rp1 miliar. Sedangkan terkait kasus mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, MA menambah delapan tahun hukuman penjara bagi 14 tahun penjara yang diterimanya, mencabut hak politiknya untuk memangku jabatan publik, dan memerintahkannya membayar denda Rp5 miliar atas pelanggaraan yang dilakukannya dan mengembalikan Rp57,5 miliar ke kas negara,” ujar Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi (2018).
Baca juga: