Toxic Relationship Sulit Dikenali karena Sering Dimaklumi

JAKARTA - Kabar meninggalnya Dini Sera Afrianti (29) menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir. Dini diketahui meninggal dunia di National Hospital Surabaya pada Jumat (6/10/2023) dini hari WIB setelah dianiaya oleh kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur (GRT).

Penganiayaan tersebut terjadi di tempat hiburan malam, Blackhall KTV, Lenmarc Mall, di Jalan Mayjend Jonosejowo, Surabaya.

Menurut pengakuan GRT, dia merasa jengkel dengan wanita yang sudah dipacarinya selama lima bulan terakhir itu. Namun apa muara kejengkelan tersangka terhadap korban ini masih didalami penyidik.

Gregorius kini ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 351 ayat 3 dan atau Pasal 359 KUHP tentang penganiayaan berat dan kelalaian, dengan ancaman 12 tahun penjara. 

Tak Hanya Hubungan Asmara

Kekerasan atau penganiayaan yang terjadi dalam sebuah hubungan bukanlah hal baru. Publik sering menjumpai bagaimana sebuah hubungan sama sekali tidak membawa kebahagiaan, bahkan hingga berujung kematian.

Hubungan yang tidak sehat, tidak membawa kebahagiaan disebut toxic relationship. Istilah ini makin akrab di telinga masyarakat dalam beberapa tahun ke belakang.

Toxic relationship sering merujuk pada hubungan asmara, tapi kenyataannya hubungan tidak sehat ini juga dapat terjadi pada hubungan lainnya seperti keluarga, kolega, bahkan pertemanan.

Melansir Healthline, toxic relationship adalah hubungan beracun yang menimbulkan perasaan tidak bahagia meski terus menghabiskan waktu bersama pasangannya. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang tak menyadari bahwa dirinya sedang terjerumus dalam hubungan beracun ini, seperti yang dialami Dini.

Korban diketahui sempat curhat bahwa dia kerap mendapat perlakuan kasar dari Ronald. Hal tersebut ia ungkapkan di akun TikToknya.

"Cwe nya mati-matian jaga hati buat cwo nya, eh cwo nya mati-matian buat matiin cwe nya," begitu tulis Dini dalam video yang diunggah ke TikTok @bebyandine pada Selasa (3/10/2023).

Hubungan beracun atau toxic relationship sering diabaikan karena dianggap hal yang umum terjadi dalam sebuah relasi. (Freepik)

Hal ini juga dipertegas oleh tim kuasa hukum keluarga Dini, Dimas Yemahura Al Farauq. Selama ini Dini memang kerap mendapatkan perlakuan kasar dari Ronald. Namun meski terus-terusan diperlakukan kasar, Dini bungkam alias tak pernah memberi kabar kepada keluarganya di Sukabumi.

Seseorang bisa mengetahui apakah dirinya terjerumus dalam hubungan tidak sehat dengan mengenali sejumlah tanda atau sinyal dari pasangan. Beberapa di antaranya adalah cemburu dan posesif yang berlebihan, melakukan kekerasan verbal, tidak mudah memberikan apresiasi kepada pasangan, memendam rasa benci, pengabaian, hingga manipulatif.

Psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan menjelaskan beberapa alasan mengapa seseorang, utamanya perempuan, tetap bertahan dalam sebuah hubungan yang toxic meski berulang kali mendapat perlakuan kasar.

“Karena perempuan cenderung merasa rugi kalau meninggalkan laki-laki. Perempuan merasa lebih untung kalau ada pasangan, sehingga perempuan cenderung memilih mempertahankan hubungan walaupun itu toxic. Alasan lainnya, perempuan tidak menyadara pattern toxic relationship itu seperti apa,” kata Sani kepada VOI.

Terkait ciri-ciri toxic relationship yang sulit dikenali, psikolog klinis dewasa Alfath Hanifah Megawati, M.Psi. mengatakan perilaku tidak sehat ini seringkali dianggap hal biasa terjadi dalam sebuah hubungan. Salah satu contohnya adalah rasa cemburu berlebihan.

“Pada toxic relationship, kemunculannya berulang, misalnya cemburu terus menerus dan menimbulkan reaksi berlebihan. Misalnya karena cemburu kita tidak diizinkan berteman dengan siapa pun. Perilaku seperti ini kerap dimaklumi karena dianggap umum terjadi dalam sebuah relasi, sehingga toxic relationship sulit dikenali bahkan sulit ditinggalkan,” jelas psikolog yang akrab disapa Mega ini. .

Dalam sebuah hubungan yang tidak sehat, perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga mengalami hal serupa. Penyebab perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan dalam sebuah hubungan yang toxic memiliki akar yang kompleks dan melibatkan faktor sosial, budaya, psikologis.

“Budaya patriarki masih sangat kuat di Indonesia, di mana laki-laki dianggap memiliki kekuasaan atau wewenang yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perempaun juga kerap mengandalkan laki-laki sebagai pusat solusi, baik solusi materi, solusi untuk proteksi, solusi penyelesaian masalah, sampai solusi sebagai status,” imbuh Sani.

Pelaku Kekerasan Sulit Berubah  

Toxic relationship juga pernah dialami mahasiswi Universitas Pelita Harapan (UPH). Pengguna akun Twitter @annisaknh8 mengaku dianiaya kekasihnya yang juga mahasiswa UPH. Bahkan kekerasan tersebut berlangsung sebanyak lima kali sejak 7 Agustus 2022 sampai Februari 2023.

Sempat melaporkan kejadian kepada Komnas Perempuan pada 22 Desember, pelaku meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi sehingga proses tidak dilanjutkan.

Tapi janji tinggalah janji. Pelaku ternyata kembali mengulang tindakannya, bahkan sampai menghajar kekasihnya habis-habisan sampai nyaris meregang nyawa. Korban akhirnya memutuskan menceritakan kekejaman sang pacar kepada orang tuanya dan melaporkan pelaku ke Polres Tangerang Selatan.

Menurut Sani Budiantini, pelaku dalam toxic relationship butuh bantuan profesional untuk berubah, sehingga sebagai korban harus lebih aware atau sadar bahwa dirinya berada dalam relasi yang tidak sehat.

Mengenali tanda atau sinyal negatif pasangan dapat membantu lepas dari hubungan yang toxic. (Unsplash/Kelly Sikkema)

“Kita harus lebih tanggap apa yang terjadi dalam toxic relationship, sehingga kita tidak halu dengan iming-iming dia akan berubah, karena butuh bantuan profesional untuk mengubah pelaku supaya tidak melakukan kekerasan lagi,” jelas Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini.

Dilansir Charlie Health, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menangani toxic relationship, namun yang terpenting adalah seseorang menyadari bahwa dirinya berada dalam hubungan yang beracun. Setelah itu, baru bisa melakukan langkah selanjutnya dengan mencari bantuan, seperti teman, keluarga, atau terapis, hingga memutus kontak dengan pelaku.

“Butuh batasan dan kesepakatan dalam menjalin sebuah hubungan. Dan yang terpenting perempuan tidak boleh mengandalkan laki-laki dan punya keputusan sendiri untuk melindungi diri walaupun berujung pada putusnya hubungan tersebut,” ujar Sani memungkasi.