Masih Disuplai Impor, Bos ID FOOD Ungkap Tantangan Penuhi Kebutuhan Garam Industri dan Gula Konsumsi

JAKARTA - Direktur Utama ID FOOD Frans Marganda Tambunan mengatakan kebutuhan garam industri dan gula konsumsi masih disuplai dari luar negeri atau impor.

Hal ini karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan.

Frans menuturkan, industri di dalam negeri membutuhkan banyak pasokan garam.

Terutama di sektor makanan minuman, mining atau pertambangan hingga pupuk. Sementara, pasokan di dalam negeri tidak mencukupi.

Karena itu, sambung Frans, kapasitas pabrik pengolahan garam untuk makanan dan minuman di dalam negeri terus ditingkatkan, saat ini kapsitasnya sudah 57.000 ton per tahun. Meski begitu, Frans mengakui masih ada jarak yang jauh antara kebutuhan dengan produksi.

“Kita tingkatkan terus karena gap masih banyak. Sekarang ini kurang lebih 3.000.000 ton yang kita impor setiap tahun,” ujar Frans di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa, 10 Oktober.

Tak hanya garam industri, Frans mengatakan kendala yang sama juga terjadi untuk gula konsumsi. Kata dia, masih ada sekitar 1 juta ton yang disuplai dari impor.

“Jadi sekarang kita fokus untuk konsumsi dan itu even konsumsi pun masih ada gap kurang lebih 800.000 sampai 1.000.000 setiap tahun yang harus kita impor dari luar negeri. Dimana biasanya 1.000.000 ini dibagi 800.000 dalam bentuk raw sugar, kemudian 250.000 sampai 500.000 dalam bentuk gula kristal putih,” tuturnya.

Lebih lanjut, Frans mengatakan pihaknya bersama PTPN mendapat penugasan stabilisasi dari pemerintah sebanyak 500.000 ton setara gula kristal putih.

“Penugasan stabilisasi totalnya 500.000 setara gula kristal putih jadi kalau setara GKP berarti 90 persenya. Yang sudah kami laksanakan kurang lebih 107.000 realisasinya jadi sisanya akan kita kerjakan menunggu keputusan pemerintah untuk kita bisa impor di tahun ini,” katanya.

Frans mengatakan impor gula komsumsi pun kini dihadapkan pada tantangan sulitnya mencari negara pemasok. Pasalnya, India sudah memutuskan untuk menutup ekspor hingga semester I tahun 2024.

“Nah tantangannya adalah tidak seperti dulu pada saat kita mau impor kan negara pemasok cukup tersedia. Kita sama-sama tahu India sudah memutuskan tidak mengekspor gula sampai semester satu tahun depan,” ujarnya.

Sementara, sambung Frans, Thailand tidak memiliki stok yang cukup banyak. Karena itu, menurut dia, pasar paling memungkinkan dari Brasil.

“Thailand juga sama. Jadi yang memungkinkan kita tahun ini untuk penyediaan itu adalah mungkin dari Brasil,” jelasnya.

Tak hanya dihadapkan sulitnya mencari negara pemasok, Frans juga mengatakan saat ini masa musim giling gula akan berakhir.

Sementara Indonesia akan mengahadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) pada awal April 2024. Karena itu, pihaknya akan mengejar target pemenuhan pasokan.

“Jadi kita ini juga mendorong supaya keputusan stabilisasi yang kita dapatkan secepatnya, kebetulan juga musim giling gula ini sebentar lagi berakhir. Biasanya kalau musim giling gula berakhir harga naik dan terutama kita harus antisipasi untuk persiapan HBKN puasa lebaran yang tahun depan datangnya lebih cepat di awal April,” jelasnya.