Salahkan Pendudukan Palestina saat Serangan di Gaza Tewaskan 1.100 Orang, Politisi Israel: Kami Telah Memperingatkan
JAKARTA - Politisi Partai Hadash sekaligus anggota Parlemen Israel (Knesset) Ofer Cassif menyalahkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina, mengkritik tindakan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, terkait serangan militan Hamas Palestina terhadap wilayah Gaza.
Anggota koalisi sayap kiri tersebut mengatakan, dia telah memperingatkan situasi akan meletus, jika Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak mengubah kebijakannya terhadap Palestina.
"Kami mengutuk dan menentang segala serangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Namun berbeda dengan Pemerintah Israel, hal ini berarti kami juga menentang penyerangan terhadap warga sipil Palestina. Kita harus menganalisis insiden-insiden mengerikan tersebut dalam konteks yang tepat, dan itu adalah pendudukan yang sedang berlangsung," jelas Cassif, seperti dilansir dari Al Jazeera 9 Oktober.
"Kami telah memperingatkan berkali-kali, semuanya akan terjadi dan semua orang akan menanggung akibatnya, terutama warga sipil yang tidak bersalah di kedua pihak. Dan sayangnya, itulah yang terjadi," lanjutnya.
"Pemerintah Israel, yang merupakan pemerintahan fasis, mendukung, mendorong, dan memimpin pogrom terhadap warga Palestina. Ada pembersihan etnis yang sedang terjadi. Jelas sekali tulisan itu ada di dinding, ditulis dengan darah orang-orang Palestina, dan sayangnya sekarang juga orang Israel," tambah Cassif.
Lebih jauh, ia juga mengkritik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang memimpin pemerintahan koalisi sayap kanan, menilainya hanya mementingkan kepentingan pribadi.
"Satu-satunya hal yang menjadi perhatian Netanyahu bukanlah kesejahteraan warga Israel, apalagi warga Palestina di wilayah pendudukan," kata Cassif.
"Dia tertarik untuk bertahan hidup. Dia hanya ingin keluar dari penjara. Itulah satu-satunya motivasi dan insentif yang mendorong (dia)," jelasnya, mengacur pada sejumlah masalah hukum yang mengancamnya usai jaksa agung mengajukan beberapa tuduhan seperti penipuan hingga korupsi, yang dibantah oleh Netanyahu.
Diberitakan sebelumnya, serangan pejuang-pejuang Hamas di kota-kota Israel pada Hari Sabtu, menjadi serangan paling mematikan terhadap negara itu, sejak serangan Mesir dan Suriah dalam Perang Yom Kippur yang pecah sekitar 50 tahun lalu.
Hamas mengatakan, serangan itu didorong oleh apa yang disebutnya peningkatan serangan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem, serta terhadap warga Palestina di penjara-penjara Israel, seperti mengutip Reuters.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menyoroti ancaman terhadap Masjid Al-Aqsa Yerusalem, kelanjutan blokade Israel terhadap Gaza dan normalisasi Israel dengan negara-negara di kawasan.
Sedikitnya 700 orang di sisi Israel dan 400 oran di pihak Palestina dinyatakan tewas akibat saling serang kedua belah pihak sejak Sabtu.
Mengutip CNN, petinggi Hamas Mousa Abu Marzouk mengatakan kepada al-Ghad TV, jumlah pasti tawanan Israel akan dihitung ulang, tetapi jumlahnya lebih dari seratus orang, menyebut adanya pejabat tinggi militer Israel di antara tawanan. Sedangkan Jihad Islam mengklaim menawan 30 orang Israel.
Jauh sebelum serangan akhir pekan lalu, sejumlah mantan petinggi militer dan intelijen Israel mengkritik langkah pendudukan Israel di Tepi Barat sebagai praktik apartheid, menyayangkan kekerasan yang menelan korban jiwa, hingga pengesahan perluasan permukiman Israel di Tepi Barat dengan yang terbaru dikeluarkan awal bulan lalu.
Agustus lalu, mantan kepala front utara tentara Israel yang juga wakil kepala badan intelijen Mossad mengutuk apartheid absolut di Tepi Barat yang diduduki Israel, menyalahkan politisi sayap kanan yang bersekutu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu atas berlanjutnya pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
"Saya tidak mengasihani orang-orang Palestina, saya mengasihani kami. Kami membunuh diri kami sendiri dari dalam. Bibi (Netanyahu) gagal di sini. Dia menempatkan para penjahat dan penghindar wajib militer di posisi-posisi penting yang, di negara beradab, seharusnya berada di balik jeruji besi," ujar Mayor Jenderal Amiram Levin, mengatakan tentara hanya diam saja pemukim merajalela dan terlibat dalam kejahatan perang, seperti dikutip dari The National News.
Terpisah, mantan kepala Mossad Tamir Pardo bulan lalu juga mengatakan Israel menerapkan apartheid di Tepi barat yang diduduki.
"Ada negara apartheid di sini. Di wilayah di mana dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum, itu adalah negara apartheid," ujar Tamir Pardo dalam wawancara dengan Associated Press.
Pardo, yang menjabat sebagai kepala badan intelijen dari tahun 2011 hingga 2016 mengatakan, pandangannya mengenai Tepi Barat tidak ekstrem, melainkan fakta.
Pernyataan keduanya menyusul semakin banyaknya pernyataan politik yang dilontarkan oleh para mantan anggota senior militer dan badan intelijen Israel, yang ditujukan kepada pemerintahan PM Netanyahu, meskipun sebagian besar dari mereka berfokus pada rencana perombakan peradilan yang kontroversial dari sang perdana menteri.
Baca juga:
- Kamera Pengawas Tidak Berfungsi hingga Tentara Dinilai Tak Siap: Israel akan Gelar Penyelidikan Terkait Serangan Hamas
- Serangan Hamas Sebabkan Ratusan Korban Tewas dan Tawanan, Pengamat: Intelijen dan Pertahanan Israel Kebobolan
- Desak Diakhirinya Kekerasan di Gaza dan Israel, Paus Fransiskus: Tolong Hentikan Serangan Senjata, Tidak Bawa Solusi
- AS Kerahkan Kapal Perang hingga Jet Tempur ke Dekat Israel, Hamas: Partisipasi Nyata Dalam Agresi
Diketahui, protes telah mengguncang Israel selama delapan bulan atas rencana-rencana PM Netanyahu, yang oleh para kritikus disebut sebagai upaya kudeta.
Tindakan Israel di Tepi Barat sepanjang tahun ini, menjadikan tahun 2023 sebagai tahun paling berdarah sejak tahun 2005, memecahkan rekor tahun lalu.
Kekerasan pemukim, termasuk amukan di Kota Huwara dekat Nablus pada Bulan Februari, telah menyebabkan sedikitnya 200 orang Palestina terluka dan enam orang tewas tahun ini. Dalam beberapa kasus, pasukan keamanan dituduh terlibat, misalnya, menembak mati seorang pria Palestina dalam serangan di Turmus Ayya.