Mandi Tanpa Sabun Sebagai Dukungan Nyata Konsep Sustainable Living

JAKARTA – Sosok Gobind Vashdev mencuri perhatian masyarakat. Ia mengaku sudah tidak pernah menggunakan sabun saat mandi. Gaya hidup yang disebut sustainable living tersebut telah dilakukannya sejak 15 tahun terakhir.

Pengakuan tersebut jelas bikin publik terheran-heran. Karena mungkin hampir semua orang menggunakan sabun untuk membersihkan badan saat mandi. Tak cuma sabun, sampo dan pasta gigi juga lazim digunakan orang.

Kemudian ketika muncul pengakuan Gobind Vashdev yang tak lagi menggunakan sabun non-alami selama satu setengah dekade, pertanyaan pertama yang ada di kepala tentu saja soal kebersihan dan bau badan yang bisa saja muncul. 

Perlu Disesuaikan dengan Kondisi

Bukan tanpa alasan Gobind Vashev akhirnya memutuskan melepaskan diri dari sabun. Pria yang juga berprofesi sebagai motivator ini mengaku merasa menyesal karena busa sabun dan shampo yang ia gunakan mengotori alam.

Berawal dari kesadaran untuk 'balas budi' kepada alam itulah, Gobind akhirnya menanggalkan sabun dan sampo untuk membersihkan badan. Ia mulai sadar bahwa sabun yang ia gunakan justru mencemari tanah lewat pengalamannya saat masih tinggal di Ubud, Bali.

“Dulu saat saya mandi dan membuka jendela, saya melihat sawah. Lalu saya berpikir, sawah ini baik banget ya, lalu saya mandi, saya merasa bersih, saya merasa wangi, tapi kemudian tanahnya menjadi kotor,” kata Gobind, dikutip dari akun Instagram @gobindvashdev.

“Katanya kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalau saya bersih, tapi kemudian lingkungan kotor, apakah ini yang dimaksud?”

Yang menjadi pertanyaan banyak orang, apakah mandi tanpa sabun tidak menyebabkan bau badan? Ini mungkin menjadi pertanyaan yang jamak dilontarkan orang, karena salah satu tujuan mandi adalah untuk menghilangkan kotoran dan bau.

Tangkapan layar Gobind Vashdev saat berbincang di kanal YouTube Melaney Ricardo. (YouTube/@melaneyricardo)

Gobind menegaskan, selama ini banyak orang salah kaprah bahwa bau badan berasal dari keringat. Padahal menurutnya, keringat bersifat steril, sementara yang memicu bau badan adalah bakteri di kulit.

Ia menjelaskan, bakteri di kulit identik dengan bakteri yang ada di usus, dan bakteri di usus berkembang sesuai dengan makanan yang kita konsumsi.

“Kalaupun itu terjadi (bau badan) ada bahan alami yang bisa digunakan untuk menghilangkannya, tidak perlu menggunakan bahan kimia,” demikian penjelasan Govind, dikutip di kanal YouTube Melaney Ricardo.

Sementara itu, dikutip healthline, sebenarnya orang tidak perlu mandi setiap hari. Meski terdengar kontraproduktif, mandi setiap hari justru bisa berdampak buruk untuk kulit.

“Beberapa dokter kulit bahkan merekomendasikan mandi hanya dua sampai tiga kali dalam sepekan,” demikian dikutip healthline.

Hal senada juga diungkapkan dokter kulit asal Boston Dr. Ranella Hirsch. Menurutnya, mandi setiap hari yang dilakukan banyak orang saat ini terjadi hanya karena “ini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat”.

Menurut Dr. Ranella, mandi setiap hari tidak hanya membuat kulit menjadi lebih kering tapi juga membuang minyak esensial yang melindungi kulit.

Namun terkait anjuran tidak mandi setiap hari tetap perlu disesuaikan dengan kondisi pribadi sampai cuaca di suatu negara. Contohnya jika seseorang tinggal di negara empat musim, kulit akan menjadi lebih kering saat musim dingin sehingga terlalu sering mandi berpotensi memperparah kulit yang kering.

Sementara itu, mandi setiap hari di musim panas belum tentu memberikan efek negatif pada kulit, seperti yang terjadi pada negara tropis seperti di Indonesia.

Bagian dari Sustainable Living

Apa yang dilakukan Gobind mengurangi penggunaan sabun karena khawatir mencemari sawah yang berada didekatnya, bisa dikatakan termasuk menerapkan gaya sustainable living.

Sustainable living tengah menjadi gaya hidup yang populer dalam beberapa tahun ke belakang. Sederhananya, sustainable living atau kehidupan berkelanjutan adalah gaya hidup ramah lingkungan.

Tujuan sustainable living adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tetap meminimalisasi dampak buruk bagi lingkungan serta menjaga keseimbangan ekosistem.

Salah satunya adalah dengan mengurangi limbah sabun dan shampo. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dijelaskan bahwa limbah cair merupakan sisa dari suatu hasil usaha atau kegiatan yang memiliki wujud cair.

Mengutip arahenviromental.com terdapat empat kelompok klasifikasi limbah cair, yaitu limbah cair domestik, limbah cair industri, rembesan dan luapan, serta air hujan. Sementara sabun dan sampo termasuk ke dalam kelompok limbah cair domestik, yaitu limbah cair yang dihasilkan dari perumahan, bangunan, perkantoran, atau perdagangan.

Sustainable Living adalah gaya hidup berkelanjutan yang ramah lingkungan, salah satunya mengurangi limbah cair. (Freepik)

Limbah sabun dapat merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan eksosistem jika tidak ditangani dengan benar. Di antara dampak buruk yang dihasilkan dari limbah sabun adalah eutrofikasi air dan krisis air berkelanjutan.

Eutrofikasi merupakan pencemaran air di mana zat yang diperlukan makhluk hidup, seperti nutrient dan unsur hara muncul berlebihan pada ekosistem air. Limbah sabun yang tercampur ke perairan dapat menimbulkan pertumbuhan eceng gondok di atas permukaan air.

“Akibatnya, sirkulasi oksigen dan sinar matahari yang dibutuhkan oleh biota air akan berkurang. Bila dibiarkan secara terus-menerus, hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem di dalam air yang akhirnya menyebabkan kepunahan biota air,” dikutip dari araenviromental.com.

Selain memicu eutrofikasi air, pembuangan limbah sabun secara sembarangan juga bisa menyebabkan krisis air berkelanjutan. Air yang tercemar limbah sabun mengandung senyawa kimia berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Ketika sumber air tercemar limbah, maka masyarakat kekurangan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Buntutnya, bukan tidak mungkin terjadi krisis air secara berkepanjangan.