Warga Pulau Rempang Masih Trauma dan Alami Krisis Kepercayaan Terhadap Pemerintah

JAKARTA - Pulau Rempang termasuk di Kepulauan Riau, merupakan pulau yang secara geografis letaknya sangat strategis. Pulau ini terletak di jalur lalu lintas perdagangan internasional tersibuk kedua di dunia, Selat Malaka, yang kemudian dikembangkan menjadi “kota industri” oleh pemerintah sejak zaman Presiden Soeharto.

Pada 28 Agustus 2023 lalu, terjadi penandatanganan proyek Rempang Eco City yang terdaftar sebagai proyek strategi nasional di tahun 2023. Pembangunan proyek ini diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023.

Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City dan pembangunan pabrik kaca dari perusahaan Xin Yi Glass di Pulau Rempang dipastikan akan tetap berjalan. Pasalnya pemerintah melihat adanya investasi jumbo senilai Rp381 triliun yang diharapkan bisa menjadi mesin ekonomi baru bagi Indonesia.

Nilai investasi yang besar dari proyek Rempang Eco City diyakini dapat memberikan percepatan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan warga Rempang dan warga Galang. Bahkan saat masa pembangunan sekalipun, diperkirakan ekonomi masyarakat dapat ikut terangkat dengan kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah.

Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol Ariastuty Sirait menjelaskan bahwa jika investasi ini berjalan, akan ada banyak dampak positif yang diterima masyarakat, Kawasan Barelang hingga Indonesia pada skala yang lebih besar.

Pertumbuhan realisasi investasi akan diimbangi dengan keterlibatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Investasi yang masuk ke daerah akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pembangunan ekonomi.

“UMKM akan sangat hidup. Semua proses ini akan melibatkan UMKM. Contoh simple adalah usaha bahan pokok dan makanan, yang akan menyediakan adalah tentu masyarakat di sana yang bisa ambil peran. Pekerja tak perlu jauh ke Batam. UMKM bisa masuk dalam rantai pasok global (global value chain) agar meningkatkan peluang UMKM kita untuk bisa naik kelas.” kata Tuty kepada VOI melalui keterangan tertulis, Sabtu, 23 September.

Tak hanya itu, proyek Rempang Eco City juga akan membangun infrastruktur yang tertata rapi dan menjadi wilayah yang maju. Pemerataan pembangunan di Rempang mengalami eskalasi serta peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga juga meningkat. Bagi warga yang memiliki aktivitas di dunia maritim juga akan dibangunkan armada guna memudahkan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.

"Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City juga akan meningkatkan Kesehatan ekologis dan sosial jangka Panjang. Kawasan Parisawata juga akan dikembangkan lebih optimal, sehingga wilayah ini tidak akan mengalami ketertinggalan. Maju namun tidak meninggalkan kearifan lokal yang telah ada.” kata Tuty.

Program dari pemerintah ini dipastikan akan menciptakan legalitas atas hunian penduduk di Kawasan Rempang dan Galang. Penataan pemukiman penduduk tempatan akan terinteregasi dengan fasilitas dan infrastruktur yang baik.

“PSN Rempang Eco-City ini memberikan kepastian atas legalitas hunian penduduk, sebagaimana yang diharapkan selama ini. Bapak Menteri ATR bahkan sudah menyampaikan bahwa ATR/BPN akan mengawal ini, sehingga masyarakat akan mendapat legalitas di hunian yang kami siapkan.” kata wanita berkacamata tersebut.

Proyek strategis nasional (PSN) baru akan dijalankan pada semester satu di tahun 2024. Namun khusus rempang eco city masuk kategori PSN di 2023 dan akan segera berjalan. PSN di tahun 2023 diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7/2023. Rempang Eco City akan dikerjakan di atas lahan seluas 17.600 hektar yang terbagi 10.280 hektare untuk hutan lindung dan 7.572 hektar digunakan untuk investasi.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan proyek investasi di rempang akan tetap berjalan. Bahlil menerangkan proyek investasi di rempang selain menunjukkan keseriusan pemerintah untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya diyakini bisa mengangkat pemasukan anggaran pendapatan daerah Batam.

"Ini kami ingin merebut investasi untuk mencipatakan lapangan pekerjaan," kata Bahlil. "Kalau ini (investasi Rempang) lepas, berarti potensi pendapatan asli daerah dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini akan hilang."kata Bahlil.

Terkait relokasi warga rempang dan galang, Bahlil Lahadalia membatalkan rencana relokasi masyarakat Pulau Rempang ke Pulau Galang. Hal ini disebutkannya sesuai dengan keinginan masyarakat.

"Dengan demikian, kami geser ke Tanjung Banon. Masih di (Pulau) Rempang. Hanya 3 kilometer. Mereka itu sebagian besar bekerja di laut," kata Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian Investasi pada Senin, 25 September 2023.

Bahlil menegaskan makam para orang tua masyarakat melayu juga tidak akan dipindahkan justru akan dipugar dan dibuat lebih baik sehingga masyarakat Rempang bisa tetap berziarah.

Di Tanjung Banon, lanjut Bahlil, pemerintah juga bakal memberi kompensasi berupa tanah 500 meter persegi dan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Tak cuma itu, pemerintah berjanji memberikan sertifikat hak milik. "Bukan HGB (hak guna bangunan) tapi hak milik. Itu kebijakan langsung dari Pak Presiden," kata Bahlil.

Forum Pimpinan Daerah Kota Batam Diskusi dengan Warga Pasir Panjang

Wali Kota Batam Muhammad Rudi menegaskan warga yang bermukim di Pulau Rempang dan Galang diminta untuk tidak khawatir apalagi risau terkait masalah pendidikan anak-anak mereka. Dia menambahkan akan memberikan jaminan kepada warga yang memiliki anak-anak tetap bisa bersekolah negeri.

"Jika ada yang mempersulit terkait masalah pendidikan anak-anak warga silakan hubungi saya langsung dan pasti akan saya tindaklanjuti. Saat ini masa jabatan saya sisa satu tahun lagi, saya akan berusaha untuk tidak mengecawakan warga yang telah memilih saya," kata Wali Kota Batam Muhammad Rudi kepada wartawan saat menggelar tanya jawab dengan warga Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kamis(21/9).

Muhammad Rudi yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) mengatakan rakyat yang terkena dampak dari proyek strategis nasional Rempang Eco City akan diberikan tanah seluas 500 meter persegi dan dibangunkan rumah type 45. Selama proses pembangunan rumah, warga akan diberikan santunan tiga bulan yang akan dibayar di muka. Rincian santunan selama tiga bulan itu terdiri dari uang makan setiap jiwa sebesar Rp 1 juta dan uang sewa rumah setiap bulannya sebesar Rp1,2 juta.

"Untuk itu mulai saat ini setiap warga diminta untuk melaporkan total anggota keluarga yang dimiliki dan segera laporkan kepada RT/RW untuk diteruskan ke kelurahan dan ke kecamatan. Pendataan ini sangat penting untuk karena menggunakan uang negara," katanya Rudi yang didampingi semua forum pimpinan daerah Kota Batam.

"Ini saya katakan dengan jelas di depan Kapolres, Dandim dan juga Ibu Kejari Kota Batam agar rakyat menjadi jelas tujuan yang akan dilakukan BP Batam di proyek strategis nasional ini. Saya tidak mau digugat warga karena saya berbohong atau tidak menepati janji karena akan berurusan dengan hukum," katanya.

Rudi menegaskan saat ini mengatakan ada dua relokasi untuk warga di Pulau Rempang yang terdampak pengembangan proyek Rempang Eco-City. Dia menjelaskan dua relokasi itu terdiri dari Dapur 3 Sijantung dan Dapur 6 Tanjung Banon.

"Jadi, nanti terserah mereka mau pilih yang mana. Di Dapur 3 Sijantung sedang kami kerjakan, dan mau ke Dapur 6 Tanjung Banon juga silakan,” ujar Rudi.

Penambahan lokasi baru untuk relokasi warga itu merupakan hasil permintaan warga saat bertemu dengan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Pulau Rempang.

Rudi mengatakan akan terus melakukan sosialisasi dengan melakukan pertemuan-pertemuan kepada warga agar rencana ini bisa berjalan dengan baik.

“Kami akan dekati terus, agar selesai masalahnya. Yang penting kami bekerja semampu kami, sesuai dengan yang diperintahkan kepada kami,” kata Rudi kepada

VOI.

Trauma Warga di Kepulauan Rempang

Salah satu warga di Pasir Panjang mengaku masih trauma dengan tindakan aparat keamanan saat demonstrasi kemarin. Kini masih ada aparat yang lalu lalang di kampung.

"Aku masih trauma dan takut melihat aparat, saat ini masih ada beberapa yang suka lalu lalang di kampung tanpa seragam. Aku masih trauma karena tindakan mereka yang mengeluarkan gas air mata, kemarin itu aku sempat lari ke hutan," kata Eriz warga Pasir Panjang kepada VOI, Jumat (22/9).

Kampung Pasir Panjang di Pulau Rempang terdiri dari 112 kepala keluarga. Jarak antar rumah satu dengan yang lain tidak terlalu rapat. Jadi sangat wajar sekali mengenal orang yang tidak dikenal jika melintas di jalan kampung.

Warga lainnya mengatakan masih tidak bisa terima apa penyebab utama mereka dipindahkan dari tempat tinggal mereka. Terlebih hal itu bisa dilihat dari pertemuan terakhir antara forum pimpinan daerah Batam dengan warga Kampung Panjang Pasir, Kamis (21/9). "Lihat saja sikap Pak Wali Kota Batam usai mendengar pernyataan sikap dari masyarakat kampung kami pada pertemuan Kamis kemarin. Dia minta yang membacakan pernyataan warga untuk ketemu secara pribadi jika sudah merasa dewasa, " kata Eriz kepada VOI.

Eriz menyebutkan tekanan terhadap masyarakat masih sangat kuat. Warga kampung pada dasarnya tidak ingin pindah dan hidup dengan tenang sambil menjaga warisan para orang tua dan leluhur.

"Silakan siapa pun mau masuk untuk berinvestasi tapi jangan pindahkan kami. Kita ini termasuk orang timur, bagaimana dengan urusan makam para orang tua kami. Kami tidak ingin kualat nanti," katanya.

Usai bentrokan warga dan aparat keamanan beberapa waktu lalu, disebutkan Eriz mengakibatkan banyak warga yang takut untuk keluar dan berusaha. Warga juga mempertanyakan apakah perkataan Wali Kota Batam beserta jajaran pimpinan daerah bisa dipercaya dan dibuktikan.

"Kami di sini banyak yang tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti mereka. Usia kami juga tidak muda lagi sementara anak-anak masih sangat kecil dan butuh pendidikan. Urusan nanti proyek Rempang Eco City akan menarik pekerja dari masyarakat Pulau Rempang, kami tidak percaya. Alasannya itu tadi pendidikan kami tidak tinggi," kata Eriz yang matanya mulai terlihat menggenang dengan air mata.

Eriz menegaskan dirinya telah menetap di Pasir Panjang sudah lebih dari 15 tahun. Dia memang bukan berasal dari Pasir Panjang namun istri dan mertuanya merupakan warga asli dari Pasir Panjang.

Usai bertemu dengan warga Kampung Pasir Panjang, perjalanan dilanjutkan ke kampung Tanjung Banon. Tanjung Banon merupakan daerah yang dihuni oleh warga yang pekerjaannya sebagai nelayan. Rumah mereka berada di atas lautan di mana perahu-perahu kecil bersandar di rumah masing-masing warga.

Untuk mencapai salah satu rumah warga, kendaraan diparkir cukup jauh lalu berjalan di atas jembatan yang terbuat dari papan dan terpasang di atas bambu. Dipastikan saat malam hari berjalan ke Tanjung Banon tidak dipenuhi dengan penerangan lampu.

Warga Tanjung Banon juga turut menghadiri dialog dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di rumah Ketua Keramat Achmad Gerisman. Perwakilan dari Tanjung Banon ini untuk meminta pemerintah melakukan pertanyaan lebih dahulu apakah warga Tanjung Banon bersedia menerima warga dari 3 kampung yang akan direlokasi.

"Saya yang hadir di sana mewakili warga Tanjung Banon. Kami merasa heran kenapa kami tidak diajak dialog dulu oleh pemerintah. Otak para menteri itu semuanya hanya uang-uang saja. Saya mewakili kaum perempuan di Tanjung Banon juga ingin mempertanyakan langsung kepada Menteri Bahlil apakah keselamatan kami masih aman, tapi sayangnya dialog yang diharapkan itu tidak terjadi," kata Mar, warga Tanjung Banon kepada VOI, Jumat (22/9).

Mar menambahkan suami-suami mereka saat ini juga susah untuk mencari nafkah dengan tenang. Hal ini disebabkan banyaknya petugas tidak berseragam yang datang dan kerap menanyakan ke suami akan ketersediaan untuk direlokasi.

"Apakah ada yang bisa menjamin tempat yang baru itu bisa membuat nyaman. Kami sudah nyaman di sini dan kami sudah tinggal turun temurun di Pulau Rempang,"katanya.

"Apapun yang terjadi kami akan tetap di rumah kami. Meski saat ini kami tidur pun tak nyenyak khawatir rumah kami langsung digusur oleh pemerintah. Saya juga mempertanyakan di mana hati para pejabat itu. Kenapa di otaknya itu hanya uang-uang saja,"tambahnya.

Senada dengan Mar, Bahlil warga dari Tanjung Banon yang menolak jika Rempang Eco City itu tetap dijalankan. Pekerjaannya sebagai nelayan, Bahlil mengkhawatirkan limbah dari perusahaan asing yang bergerak dalam bidang Kaca.

"Air laut bisa saja diuruk dan menjadi dangkal, lalu bagaimana kami mencari rejeki untuk menafkahi istri dan anak-anak. Saat ini kami pergi ke laut mencari ikan dalam sehari bisa mendapat Rp 200 ribu tapi jika ada limbah maka air laut akan semakin sedikit dan kami perlu melaut ke tempat yang lebih jauh setidaknnya 150 meter dari tempat biasanya," katanya Bahlil kepada VOI.

Bahlil mengatakan saat ini dirinya dan semua warga di Pulau Rempang dan Galang juga kerap membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahunnya. "Namun kenapa kami tidak dianggap dan dinilai tidak kuat untuk tinggal di sini. Kami tinggal di sini sudah puluhan tahun. Saya tinggal dan lahir di sini. Saya lahir tahun 1968, ibu dan bapak kami juga tinggal dan lahir di sini," kata Bahlil.

Bahlil lalu menunjukkan Dapur tiga yang menjadi tempat relokasi dari warga Pulau Rempang. "Itu di sana tepat di seberang. Lihat ada hutan yang masih hijau kan sampai ujung, belum ada terlihat perubahan pembangunan untuk rumah warga yang akan dipindahkan. Kami sudah bosan dibohongi oleh pemerintah," katanya.