Pelapor Khusus PBB: Lebih dari 160 Orang Ditahan Junta Militer Myanmar

JAKARTA - Pelapor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Myanmar Thomas Andews, meminta PBB untuk serius mendukung perjuangan rakyat Myanmar, lantaran para jenderal junta militer Myanmar berusaha melumpuhkan perlawanan rakyat.

Andrews juga menilai, junta militer Myanmar berusaha memutus hubungan dunia luar dengan Myanmar dengan cara memutus hampir semua akses internet, agar dunia luar tetap dalam kegelapan dengan kondisi sesungguhnya di Myanmar. 

"Lebih dari 160 orang telah ditahan oleh militer Myanmar sejak mengambil alih kekuasaan. Kita semua harus mendukung rakyat Myanmar di saat-saat bahaya dan membutuhkan. Mereka layak mendapatkan apa pun," katanya melansir Reuters

Sementara itu, puluhan ribu orang berunjuk rasa di seluruh Myanmar pada Hari Minggu untuk mengecam kudeta pekan lalu dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, dalam protes terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang membantu mengarah pada reformasi demokrasi.

Pada hari kedua protes yang meluas, kerumunan di kota terbesar, Yangon, mengenakan kaos merah, bendera merah dan balon merah, warna Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.

“Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!," seru pengunjuk rasa.

Sederet polisi bersenjata dengan tameng anti huru hara mendirikan barikade, tetapi tidak mencoba menghentikan demonstrasi. Beberapa demonstran menghadiahi polisi dengan bunga. 

Para pengunjuk rasa memberi hormat dengan tiga jari yang telah menjadi simbol protes terhadap kudeta. Pengemudi membunyikan klakson dan penumpang mengangkat foto Suu Kyi.

“Kami tidak ingin kediktatoran untuk generasi berikutnya. Kami tidak akan menyelesaikan revolusi ini sampai kami membuat sejarah. Kami akan berjuang sampai akhir,” kata salah satu pengunjuk rasa Thaw Zin (21).

Catatan internal Staf PBB memperkirakan ada 1.000 orang yang melakukan unjuk rasa di Naypyidaw, sementara di Yangon jumlahnya mencapai 60 ribu orang. Protes juga terjadi di Mandalay dan kota-kota lain di Negeri Seribu Pagoda tersebut. 

Demonstrasi sebagian besar berlangsung damai, tidak seperti penumpasan berdarah yang terjadi pada tahun 1998 dan 2007. Ini sesuai dengan pesan Uskup Agung Myanmar Kardinal Charles Maung Bo. Ia meminta publik tidak menggunakan kekerasan, tetap tenang dalam menyuarakan penentangan terhadap kudeta militer Myanmar awal pekan ini. 

“Saya mengimbau Anda masing-masing, tetap tenang, jangan pernah menjadi korban kekerasan. Bahkan pada saat yang paling menantang ini, saya percaya bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan. Selalu ada cara non-kekerasan untuk mengekspresikan protes kami," imbaunya Kardinal Charles Maung Bo pekan lalu.