KDRT Istri di Bekasi Berujung Kematian, Legislator Dorong Program Penyuluhan Pernikahan Digencarkan
JAKARTA - Komisi VIII DPR mendorong menggencarkan program penyuluhan pernikahan guna meminimalisir kasus-kasus KDRT seperti yang terjadi di Bekasi berujung kematian sang istri di tangan suami.
"Kurangnya bimbingan konseling agama dan rumah tangga saat sebelum pernikahan dan sesudah pernikahan menjadi pemicu pertengkaran,” kata Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriany Gantina, Jumat 15 September.
Seperti diberitakan sebelumnya, Mega Sriyani Dewi tewas dibunuh suaminya, Nando (25) di rumah kontrakan mereka, di Jalan Cikedokan, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi setelah keduanya terlibat cekcok. Bahkan sebelum peristiwa pembunuhan, korban selalu mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami.
Ironisnya, korban sempat melaporkan kasus KDRT ke Polres Metro Bekasi namun diduga dihentikan karena sang suami ingin berakhir damai. Akibat ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus KDRT ini, korban akhirnya meninggal dunia usai terlibat pertengkaran dengan sang suami.
Padahal menurut pengakuan kakak korban, Mega telah menyertakan bukti visum dari tindak kekerasan yang dilakukan suaminya selama kurun waktu 3 tahun. Jika benar dugaan polisi menghentikan kasus tersebut, Puan menilai kepekaan aparat terhadap korban KDRT masih kurang sehingga pelaku sampai melakukan tindak kekerasan secara berulang-ulang.
Berdasarkan keterangan polisi, motif pembunuhan MDS adalah karena pelaku sakit hati atas pernyataan istrinya. Sebab ada faktor kesenjangan ekonomi antara pelaku dan korban.
“Apapun alasannya, tidak ada pembenaran dari tindakan kekerasan di rumah tangga,” tegas Selly.
Komisi di DPR yang membidangi urusan sosial serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini pun menilai perlunya Pemerintah turut memberikan pendampingan secara berkala pada pasangan suami istri. Apalagi, kata Selly, bagi pasangan muda yang masih sering dilanda gejolak emosi.
"Dan dalam pemberian pendampingan, harus ada edukasi yang masif dan kerja sama lintas kementerian/lembaga sehingga pendampingan yang diberikan kepada pasangan dan calon pasangan suami istri bisa berjalan optimal,” ujarnya.
Selain pendampingan dari sisi keagamaan, Pemerintah dinilai perlu memperhatikan sisi sosial dan empati mengingat perkawinan erat kaitannya dengan urusan rasa. Selly menyebut setiap pasangan calon pengantin harus mendapat sosialisasi yang mendalam mengenai UU Perkawinan.
"Dalam undang-undang jelas disebutkan bahwa setiap pasangan harus saling menghormati dalam suka dan duka, tapi ini kan yang kadang luput dipahami karena gejolak emosi yang tidak stabil. Di situlah negara hadir untuk memberikan pendamping dan edukasi," papar mantan Wakil Bupati Cirebon ini.
Selly juga menilai kurangnya penegakan hukum dalam kasus KDRT berdampak pada kasus kekerasan dalam rumah tangga kembali terulang. Ia menyinggung soal seringnya aparat kepolisian menganggap masalah KDRT masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
"Saya melihat bahwa dari awal korban tidak tahu harus mendapat perlindungan dari siapa, sehingga fungsi negara dengan banyaknya undang-undang yang sudah dibuat tetap mandul dan rakyat tidak tahu saat mengalami KDRT mereka harus berbuat apa dan kepada siapa mereka mengadu," terang Selly.
Baca juga:
- Kementerian PPPA: Penanganan Laporan KDRT Mega Suryani Disetop karena Dicabut
- Puan Sindir Polisi yang Tak Proaktif Tangani KDRT Istri di Bekasi Berujung Kematian
- Wajib Cegah! KemenPPPA Sebut Perempuan Penyintas KDRT Cenderung Niat Bunuh Diri
- 6 Tanda Trauma Bonding, Situasi saat Seseorang Terikat pada Hubungan Toksik
Berdasarkan data KemenPPPA, jumlah kasus KDRT di Indonesia mengalami penurunan dalam setahun terakhir. Namun, angkanya masih tergolong tinggi, yaitu sebanyak 15.192 kasus pada tahun 2021, dan 14.989 kasus pada tahun 2022.
Dari jumlah tersebut, mayoritas korban KDRT adalah perempuan, yaitu sebanyak 92,5 persen. Sisanya, yaitu 7,5 persen adalah laki-laki. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis, yaitu sebanyak 73,2 persen. Diikuti dengan kekerasan fisik 22,6 persen, kekerasan seksual 3,5 persen, dan penelantaran rumah tangga 0,7 persen.
Melihat masih tingginya kasus KDRT, Pemerintah dan penegak hukum diingatkan untuk bisa menekan kejadian-kejadian kekerasan dalam rumah rangga. Selly mengatakan, ini termasuk dengan penyelidikan yang cepat dan efisien serta pengadilan yang adil untuk memastikan bahwa pelaku dihukum setimpal.
"Selain itu Pemerintah harus menyediakan pelayanan dan dukungan yang memadai bagi korban KDRT. Ini termasuk pusat-pusat krisis, konseling, perumahan sementara, dan akses kepada layanan medis," urainya.
Tak hanya itu, Selly juga meminta Pemerintah untuk terus mendukung program pemberdayaan perempuan yang melibatkan pelatihan keterampilan, akses kepada pekerjaan, dan pendidikan. Ini dapat membantu perempuan keluar dari situasi berbahaya dan menjadi lebih mandiri.
"Karena alasan lain biasanya korban bertahan di tengah pernikahan KDRT adalah karena masalah ekonomi. Biasanya istri khawatir tidak dapat membiayai anak-anaknya jika berpisah dari suaminya sehingga ia bertahan sekalipun terus mengalami kekerasan,” kata Selly.
“Jadi harus ada langkah-langkah konkret mendukung pemberdayaan perempuan, agar korban KDRT percaya diri bisa mandiri secara ekonomi saat memutuskan berpisah dari suami yang kerap menyiksa mereka," tambahnya.
Selly juga menggarisbawahi pentingnya pendampingan serta penyuluhan untuk anak-anak korban KDRT. Dalam kasus suami bunuh istri di Bekasi tersebut, dua anak mereka diketahui berada di tempat kejadian saat pembunuhan berlangsung meski disebut keduanya tidak melihat langsung.
“Pendampingan diperlukan untuk menghilangkan trauma anak. Dan program ini cukup penting agar tidak terjadi pengulangan KDRT dari anak yang melihat orangtuanya menjadi pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga. Ini kaitannya dengan inner child,” tutup Selly.