Janji Polri Tindak Tegas Ormas Bermasalah dalam Memori Hari Ini, 31 Agustus 2010

JAKARTA – Memori hari ini, 13 tahun yang lalu, 31 Agustus 2010, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menegaskan Polri tak boleh kalah dengan ormas anarkis. Pernyataan itu diungkapnya dalam rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta.

Ia meminta jajarannya untuk melanggengkan tindakan tegas kepada ormas bermasalah. Sebelumnya, Polri telah mencatat tren kekerasan oleh ormas kerap meningkat dari 2007-2010. Kekerasan itu –dalam data Polri-- didominasi ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR).

Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia tak dapat dianggap remeh. Narasi itu membuat perputaran uang yang tak sedikit berlangsung tiap harinya di Jakarta. Orang-orang pun tertarik untuk berdatangan ke Jakarta mengais rezeki. Ada yang mengais rezeki dengan jalan legal. Ada pula yang mengais rezeki dengan jalan ilegal.

Perebutan kuasa pun banyak terjadi. Fakta itu membuat angka kekerasan meningkat. Alih-alih kekerasan hanya dilanggengkan oleh individu, kekerasan juga dilakukan secara kelompok. Lebih khususnya, kekerasan meningkat karena hadirnya kelompok ormas dari beragam latar belakang. Dari agama hingga kesukuan.

Polri pun mengamini hal itu. Empunya kuasa menganggap tren kekerasan yang dilanggengkan ormas di Jakarta kian meningkat tiap tahunnya. Apalagi, memasuki era 2007 hingga 2010. Polri mendata biang kekerasan yang terjadi di Jakarta mengerucut ke dua ormas: FPI dan FBR.

Bambang Hendarso Danuri yang pernah menjabat sebagai Kapolri dari 2008-2010. (Antara/Widodo S. Jusuf)

Kedua ormas itu kerap melanggengkan aksi vigilante (menafsirkan hukum dengan caranya sendiri). Padahal, Polri menilai posisi mereka sama seperti kelompok masyarakat yang lain.

Mereka kerap merasa lebih besar dari penegak hukum. Mereka akan merusak sesuatu yang dianggap bertolak belakang dengan ideologi dan keyakinan. Kekerasan itu kebanyakan dilanggengkan secara diam-diam nan terencana. Eksistensi itu diduga karena kelompok ormas adalah 'aset' politik dari pejabat negara.

“Menyerbu tempat-tempat ‘dosa’ dan ‘maksiat’ berfungsi sebagai kekerasan untuk menegakkan hukum, kerap secara cukup harfiah sejauh aksi-aksi vigilante oleh FPI, FBR dan lain-lain mampu menekan pemerintah untuk menggulirkan perundangan di mana mereka berada di posisi terbaik untuk menegakkannya, seperti mengharamkan penjualan alkohol atau melarang pornografi.”

“Centeng moralitas telah menjadi bentuk yang kuat dan efektif dari modal politik. Inilah yang membuat kelompok-kelompok vigilante bergerak ke garis depan koalisi-koalisi sosial politik yang lebih luas menjadi mitra pemerintah daerah bahkan, seperti kata Menteri Dalam Negeri era SBY, Gamawan Fawzi, aset nasional,” terang Ian Wilson dalam buku Politik Jatah Preman (2018).

Kondisi itu membuat Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri berang. Ia tak kuasa lagi melihat dari 2007-2010 kekerasan yang terjadi di Jakarta kerap dilanggengkan FPI dan FBR. Bahkan, kasus kekerasan itu mencapai 107 kasus.

Ia dan jajaran membuat perhitungan keras kepada ormas anarkis. Bambang Hendarso Danuri kemudian meminta seluruh jajarannya untuk mengambil tindakan tegas kepada ormas yang melakukan kekerasan di lapangan. Ia tak ingin melihat Polri kalah dengan ormas anarkis. Pernyataan itu diungkapnya pada saat rapat terbatas di Kantor Kepresidenan pada 31 Agustus 2010. 

"Kalau ada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mereka, tidak boleh ada lagi keragu-raguan anggota melakukan tidakan tegas di lapangan," kata Kapolri kepada pers sebelum mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan sebagaimana dikutip Antara, 31 Agustus 2010.