Menarik Suara Generasi Z Lewat Kampanye Politik di Sekolah Bukan Perkara Mudah

JAKARTA - Dunia pendidikan di Indonesia lagi-lagi menjadi sorotan. Ini setelah keluar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik di lembaga pendidikan sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023). Federasi Serikat Guru Indonesia angkat bicara soal keputusan tersebut.  

“Padahal selama ini, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah  menjadi ruang netral untuk kepentingan publik, sehingga dilarang menggunakan fasilitas pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilihan umum (Pemilu),” ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI, dalam keterangannya.

Keputusan ini tentu saja mengundang polemik. Dari mereka yang bergerak di bidang pendidikan, narasi ini dianggap bisa menimbulkan sejumlah masalah. Mulai dari ancaman konflik horizontal, bullying atau perundungan, sampai kemungkinan nepotisme dan praktik transaksional di lembaga pendidikan.

Di satu sisi, izin dari MK yang membolehkan kampanye di lingkungan sekolah seharusnya menjadi tantangan tersendiri dari para kandidat. Mengingat yang menjadi target adalah para pemilih pemula atau generasi Z.

Berpotensi Timbulkan Perundungan

Bulan November sampai 10 Februari 2024 bisa menjadi periode yang sibuk pada para kandidat yang akan bertarung di Pemilu 2024. Sesuai peraturan PKPU pada periode tersebutlah mereka diizinkan melakukan kampanye. Tapi sepertinya fasilitas pendidikan juga akan ikut sibuk setelah keluar keputusan MK yang membolehkan kampanye di sekolah-sekolah maupun kampus.

Fasilitas pendidikan memang bisa menjadi ‘sasaran empuk’ bagi para kandidat menyampaikan visi dan misi mereka jelang Pemilu tahun depan. Selain mencari suara, kampanye juga dianggap bisa menjadi salah satu ajang siswa belajar politik sejak dini.

Namun, pendapat berbeda disampaikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Mereka khawatir kampanye di fasilitas pendidikan dapat memicunya terjadinya konflik horizontal serta bullying atau perundungan. Hal tersebut diungkapkan oleh Satriawan Salim selaku Koordinator Nasional P2G saat berbincang dengan VOI.

“Pertama kami merasa khawatir sekolah menjadi ajang politik praktis. Ini akan membebani guru, murid, orangtua, dan kurikulum. Kegiatan kampanye di sekolah juga berpotensi mengganggu proses belajar mengajar,” kata Satriawan Salim.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa bersama siswa SMA. (Antara/HO-Biro Adpim Jatim)

Prefensi politik berbeda antara kepala sekolah, guru, serta murid dalam pemilihan ini mengancam keharmonisan di lingkungan pendidikan. Bukannya menimbulkan suasana politik yang adem, kampanye di sekolah justru membuat rentan terjadinya perundungan ketika adanya perbedaan pandangan politik.

“Contohnya ketika ada siswa memiliki preferensi berbeda dengan pilihan mayoritas lain, ada kemungkinan terjadi bullying atau perundungan oleh teman-teman yang lain,” Satriawan melanjutkan.

Kekhawatiran lainnya ketika kampanye politik dilakukan di fasilitas pendidikan adalah adanya praktik nepotisme atau transaksional antara sekolah dengan kandidat yang berkampanye.

“Bayangkan jika sekolah memiliki preferensi, bukan tidak mungkin ada kongkalikong. Terjadi praktik kolusi dengan iming-iming hadiah,” Satriawan menjelaskan.

Tantangan Berat Para Kandidat 

Kampanye politik dengan menyambangi fasilitas pendidikan merupakan salah satu cara bagi para calon legislatif mendapatkan suara para pemilih pemula. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) ada 399.376 unit sekolah pada tahun ajaran 2022/2023.

Dari jumlah tersebut tingkat SMA terdapat sebanyak 14.236 uni, SMK sebanyak 14.265 unit dan MA sebanyak 9.827 unit. Di tingkat inilah yang masuk dalam kategori pemilih pemula. Dalam hal ini, pemilih pemula adalah generasi Z atau mereka yang berusia 17 tahun ke atas. Usia tersebut umumnya kini duduk di kelas 10 atau 11.

Generasi Z merupakan pemilih potensial yang bisa dimanfaatkan para calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan hasil rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT), mayoritas pemilih untuk Pemilu 2024 didominasi dari kelompok generasi Z dan milenial.

“Sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen dari generasi milenial. Sedangkan pemilih dari generasi Z sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85 persen dari total DPT Pemilu 2024,” kata Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT di Kantor KPU, Jakarta, pada 2 Juli lalu.

Ilustrasi surat suara yang digunakan dalam Pemilu 2019. (Antara)

Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih atau sekitar 56,45 persen dari total keseluruhan pemilih.

Menurut Satriawan, pendidikan politik bisa diajarkan sejak dini yang inheren dalam kurikulum. Alih-alih kampanye di sekolah, pendidikan politik justru sudah tertuang dalam kurikulum seperti dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau Ilmu Pendidikan Sosial (IPS).

“Ketika kampanye di sekolah, ini berpotensi menjadikan guru, murid dan warga sekolah jadi kendaraan politik para kandidat. Ini bukan pendidikan politik,” jelas Satriawan.

“Untuk menarik suara gen Z tidak mesti kampanye di sekolah, karena ini cara yang konvensional gen Z sangat dekat dengan media sosial. Seharusnya ini menjadi challenge untuk para calon bagaimana menarik perhatian siswa. Seharusnya mereka bisa memanfaatkan medsos, seperti Live IG misalnya untuk berdialog sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah,” kata Satriawan lagi.

Satriawan mengharapkan ada solusi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhadap polemik yang terjadi sekarang ini.

“Keputusal MK sudah final dan mengikat. Kepada KPU dan Bawaslu diharapkan membuat aturan yang mampu mengantisipasi potensi tersebut. KPU dan Bawaslu harus membuat aturan yang bisa mencegah konflik horizontal, mencegah bullying, dan pemaksaan,” pungkasnya.