Mengenal Genderless Fashion, Gaya Berpakaian yang Bebas Preferensi Maskulin maupun Feminin
JAKARTA – Gaya berpakaian bergerak terus-menerus mencapai pembebasan preferensi maskulin maupun feminin. Style ini dikenal dengan genderless atau gender-neutral fashion. Lebih sering disebut dengan gaya berpakaian androgini.
Gaya berpakaian ini sering dijumpai dipakai oleh musisi seperti David Bowie, Prince, dan Annie Lenox sejak tahun 1970-an. Jauh sebelum itu, pada awal tahun 1930-an Elsa Schiaparelli memelopori gender-neutral clothing. Ia memotong rok untuk dijadikan kulot sebagai koleksi couture.
Dilansir Oumagz, Selasa, 2 Februari, selain Elsa, gaya androgini dalam berpakaian dapat dikenali pada koleksi Le Smoking milik Yves Saint Laurent pada tahun 1960-an.
Inisiasi style ini tidak mudah diterima masyarakat. Bahkan, preferensi yang ambigu dirasa tabu untuk dipakai dan dipopulerkan. Pakaian dengan gaya androgini akhirnya jadi gaya khas seorang publik figur atau seseorang yang membebaskan diri terhadap oposisi biner, maskulin atau feminin.
Baca juga:
Di Indonesia, perancang busana seperti Oscar Lawalata sering berpenampilan androgini. Seorang model, Darell Ferhostan yang dengan percaya diri memakai pakaian bergaya gender-neutral melanglang buana hingga Prancis.
Gaya berbusana yang semakin membebaskan juga terserap di masyarakat Indonesia saat ini. Ini bisa ditemukan pada pemakaian hoodie, blazer oversize, kemeja flanel, celana jeans, dan kaos oblong yang tidak dibatasi oleh gender.
Mengutip dari The Fashion Globe Magazine, Dawnn Karen, MA, Ed.Mc –seorang psikolog mode dan pendiri Fashion Psychology Insitute menjelaskan bahwa evolusi pada fashion ini menunjuk pada wanita yang berkarier di bidang dunia kerja pria.
Dawnn mencontohkan seragam polisi didesain untuk pria, sekarang wanita yang berprofesi menjadi polisi juga memakai seragam tersebut. Saat ini, dunia fashion bersifat fluid atau cair. Untuk mendefinisikan cara berpakaian tidak mudah. Tetapi pada satu titik mode menggambarkan keterbukaan dan penerimaan masyarakat inklusif.
Seperti halnya oposisi biner antara feminin dan maskulin yang dalam gaya genderless tak lagi berlaku. Yang tercipta adalah kebebasan gaya dalam berpakaian tanpa takut mengekspresikan identitas diri masing-masing.
Dawnn menjelaskan lebih lanjut tentang persepsi terhadap pakaian. Menurutnya, kemajuan teknologi di satu sisi dapat membuka akses pada hal-hal yang tidak kita ketahui, misalnya gaya berpakaian era Victoria.
Meski ada hal-hal yang tak diketahui mengenai kultur yang menghidupkan gaya berpakaian tersebut, tetapi konsumen memakai gaya Victorian berdasarkan pengetahuannya. Lebih lanjut lagi, gaya berpakaian dapat dipilih secara bebas dan terbuka direspon oleh masyarakat.
Genderless fashion menyingkirkan norma berpakaian yang kuno. Berbagai merek seperti Umit Benan, Norma Kamali, Wildfang yang secara eksplisit menganut identitas unisex pada koleksi pakaiannya.