Dua Perempuan Jadi Kandidat Cawapres Indonesia adalah Sinyal Positif Kesetaraan Gender
JAKARTA - Mencuatnya dua nama perempuan di tengah tahun politik di Indonesia berhasil menyedot perhatian publk. Respons positif mengalir dari kaum perempuan menyusul kemunculan keduanya.
Adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Yenny Wahid yang namanya ramai dibahas dalam bursa Calon Wakil Presiden Republik Indonesia menjelang Pemilu 2024. Belum lama ini, kiai Nahdlatul Ulama (NU) merekomendasikan lima nama bakal calon presiden (cawapres) kepada bakal calon presiden Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan.
Dua di antaranya adalah tokoh perempuan, Yenny Wahid dan Khofifah Indar Parawansa. Sementara Yenny Wahid gencar dihubungkan dengan bakal calon presiden dari PDI Perjuangan Ganjar Pranowo. Isu tersebut diperkuat dengan kunjungan Ganjar ke rumah Yenny Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan pada Minggu (13/8/2023) malam.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin menganalisis bahwa kedatangan Ganjar yang sowan ke kediaman keluarga Gus Dur ini sekaligus untuk melakukan penjajakan koalisi.
“Ya, walaupun silaturahim, tentu pertemuan ini juga upaya untuk melakukan komunikasi politik kepada keluarga Gus Dur. Meminta restu kepada Bu Sinta Nuriyah sebagai istri ulama dan istri mantan presiden,” tuturnya.
Bungkam Para Peragu
Diskriminasi gender sudah menjadi isu serius sejak lama. Biasanya gender ini diberikan kepada orang-orang berdasarkan karakteristik seks saat mereka lahir. Dalam masyarakat pada umumnya, seseorang diharapkan berperilaku berdasarkan jenis kelamin.
Misalnya, anak perempuan diharapkan berpakaian feminim dan bersikap sopan. Tak hanya itu, perempuan juga dianggap ditakdirkan untuk tetap di rumah. Namun seiring bekembangnya zaman serta gerakan kesetaraan gender yang kuat, perempuan pelan-pelan mulai memiliki peran penting.
Masuknya dua nama perempuan dalam bursa Calon Wakil Presiden Indonesia disambut baik Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani. Dia menilai kehadiran dua perempuan yang meramaikan bursa calon Wapres adalah sinyal positif bagi kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan.
“Ini sangat bagus. Alasannya adalah, ketika perempuan dicalonkan secara umum, maka itu adalah bentuk apresiasi terhadap perempuan. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan baik. Mereka yang dicalonkan ini memiliki kapasitas untuk memimpin di Indonesia,” kaya Andy saat berbincang dengan VOI.
“Bahwa ada perempuan yang disebut dalam bakal calon wakil presiden secara umum menegaskan kepada publik bahwa perempuan mampu, sekaligus menjawab apakah perempuan bisa memimpin. Ini juga bentuk komitmen bersama mengenai kesetaraan gender, soal pengambilan keputusan di kepemimpinan berbeda.”
Di tengah maraknya berita mengenai Khofifah Indar Parawansa dan Yenny Wahid bakal calon presiden perempuan, Indonesia sendiri masih sangat kental dengan budaya patriarki. Patriarki dipandang sebagai ideologi bagaimana laki-laki mendominasi.
Mayarakat yang patriarkis dinilai masih menjadi kendala dalam perjuangan perempuan mendapat perlakuan yang setara. Tapi Andy Yentriyani justru menganggap ini adalah kesempatan bagi para kandidat untuk menyampaikan pesan kesetaraan.
“Ini tentu tidak serta merta mengubah pandangan masyarakat umumnya, soal boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Namun secara umum kadidat penting memberi pesan untuk tidak lagi melihat gender laki-laki atau perempuan, namun lebih menimbang soal kapasitas soal kemampuan. Tantangan lainnya dalam masyarakat yang patriarki adalah kontestasi politik yang sifatnya maskulin. Karena tantangan yang besar, orang sering mengerdilkan perempuan. Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk meluruskan itu, memeriksa ulang stigma tersebut,” ujar Andy mengimbuhkan.
Perempuan Punya Kemampuan
Sosok perempuan sering dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai mahkluk yang lemah. Namun, dunia membuktikan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk memimpin. Selandia Baru dipimpin oleh Perdana Menteri termuda ketiga, Jacinda Ardern. Wanita yang menjabat sebagai PM di usia 37 tahun tersebut bahkan masuk ke dalam daftar 100 orang paling berpengaruh 2019 versi Time.
Dia berhasil mencuri atensi dunia saat menangani aksi teroris Christchursh di Selandia Baru pada 15 Maret 2019. Sementara itu Singapura dipimpin oleh Halimah Yacoeb yang dilantik pada 14 September 2017. Dia mencetak sejarah sebagai wanita pertama yang menjabat Presiden Singapura dan sebagai presiden Melayu pertama di Singapura sejak Yusof Ishak yang menjabat 47 tahun lalu.
Negara lainnya yang juga dipimpin perempuan adalah Jerman dengan Kanselir Angela Markel. Mantan Ketua Persatuan Demokrat Kristen (DCU) ini menjabat sebagai Kanselir Jerman periode 2005 sampai 2021. Sesaat sebelum mengakhiri jabatannya, Angela Merkel mendorong agar lebih banyak perempuan yang terjun ke politik.
“Kami masih belum berhasil membuat perempuan cukup berantusias dengan politik. Secara umum, ada banyak upaya yang harus dilakukan sehingga perempuan bisa mendapatkan lebih banyak rasa percaya diri. Sebab sekalipun ada perempuan, ini (politik) bukan seperti pertandingan olahraga gulat, misalnya saat perebutan kursi partai,” kata Merkel dikutip Reuters.
Soal kepantasan perempuan dalam memimpin masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Meski sudah banyak para pemimpin perempuan yang membuktikan kemampuannya, namun anggapan bahwa wanita adalah kaum lemah juga tak kunjung sirna. Namun menurut studi yang dilakukan BI Norwegian Business School, wanita memiliki kemampuan baik dalam menjadi pemimpin secara umum.
Seusai melakukan penelitian terhadap 700 orang di level manajer, peneliti mendapati wanita memiliki nilai tinggi dalam banyak bidang terkait kemampuan memimpin. Wanita lebih inisiatif, berkomunikasi dengan jelas, terbuka. Lalu, wanita juga lebih mampu bersosialisasi terhadap rekan rekan, suportif, metode manajerial yang jelas, serta goal setting yang baik.
“Dalam bisnis, sebuah perusahaan harus selalu berusaha untuk menarik hati pelanggan serta meningkatkan produktivitas dan keuntungan. Hasil studi kami menunjukkan wanita secara alami meningkatkan produktivitas serta keuntungan. Hasil studi kami menunjukkan wanita secara alami memiliki skor lebih tinggi dibandingkan pria dalam kemampuan inovasi serta memimpin dengan jelas dan berdampak,” kata Ovynd L. Martinsen selaku pemimpin studi, dikutip Metro.
Di tengah-tengah isu kesetaraan gender, lantas muncul istilah Alpha Woman yang ramai dibahas belakangan ini. Alpha Woman atau Perempuan Alfa adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang seorang perempuan yang memiliki karakter kuat, dominan, dan tegas.
Biasanya para perempuan ini memiliki pemikiran dan tindakan yang dapat memengaruhi orang lain. Dikutip scienceofpeople.com, “perempuan alfa adalah perempuan yang memiliki ambisi kepemimpinan. Dia berbakat, sangat termotivasi, dan percaya diri.”
Baca juga:
- Sambut HUT ke-78 RI, Bendera Merah Putih Sebagai Simbol Negara Wajib Diagungkan
- Pantauan Netray Soal Diskon Hukuman Ferdy Sambo dan Sentimen Negatif Warganet Terhadap Mahkamah Agung
- Ancaman Nyata Polusi Udara Jangan Disepelekan
- Ketika Nilai Luhur Pendidikan Dihancurkan Nafsu dan Kecurangan dalam Sistem Zonasi PPDB