Ketua DPRD DKI Minta Insentif Petugas Dishub-Satpol PP Akibat Polusi Udara Dinilai Diskriminatif

JAKARTA - Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai permintaan Ketua DPRD DKI Jakarta soal anggaran insentif bagi petugas lapangan Pemprov DKI akibat polusi udara tak perlu dialokasikan.

Menurut Trubus, anggaran insentif berupa pemberian obat hingga vitamin bagi petugas Dinas Perhubungan dan Satpol PP DKI Jakarta yang bekerja di lapangan bersifat diskriminatif.

"Sebenarnya enggak perlu karena ini akan menimbulkan perilaku diskriminatif dan kecemburuan sosial," kata Trubus kepada wartawan, Selasa, 15 Agustus.

Lagipula, menurut Trubus, pemberian obat hingga vitamin dari APBD DKI tidak bisa diberikan secara kontinyu. Mengingat, hal ini akan membebankan anggaran daerah.

Belum lagi, masih banyak masyarakat lainnya yang setiap hari berkegiatan di luar rumah dengan kebutuhan asupan yang sama dengan para petugas Pemprov DKI tersebut.

"Mengeluarkan anggaran tambahan itu harus tahu batasannya untuk apa. Kalau enggak, APBD jebol karena biayanya akan makin tambah lagi tambah lagi. Masyarakat yang lain nanti juga akan minta, mereka yang kategori penyandang disabilitas minta, semuanya nanti minta," tuturnya.

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi meminta Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran untuk insentif petugas lapangan seperti jajaran Dinas Perhubungan dan Satpol PP DKI Jakarta.

Insentif yang dimaksud berupa menambah asupan makanan, vitamin, hingga obat-obatan. Prasetyo menyebut, pemberian insentif ini dilakukan untuk menjaga kesehatan para petugas dari kondisi udara Jakarta yang berpolusi cukup tinggi.

"Diharapkan dapat digunakan untuk menambah daya tahan tubuh supaya petugas-petugas kita tetap prima. Ya kita harus berusaha mencegah lah," kata Prasetyo dalam keterangannya, Minggu, 13 Agustus.

Politikus PDIP ini menuturkan, para petugas yang sehari-hari bekerja di ruang publik ini membutuhkan asupan penambah imunitas karena mereka berpotensi mengalami gangguan saluran pernapasan.

"Boleh sekarang sehat, tapi dalam jangka waktu panjang paparan polusi udara ini bisa bikin dia sakit. Ini yang mau kita usulkan di APBD 2024," ungkap dia.

Jakarta kerap menjadi salah satu kota besar dengan polutan paling tinggi di dunia. Berdasarkan hasil kajian tahun 2020, sektor kegiatan yang menyebabkan pencemaran udara Jakarta adalah kendaraan bermotor yang berkontribusi 44 persen.

Kemudian, 31 persen polusi disumbang dari industri, 14 persen dari perumahan, 10 persen dari industri energi manufaktur, dan 1 persen kegiatan komersial.

Sementara, sumber emisi bahan bakar yang digunakan di Jakarta adalah batu bara 0,42 persen, minyak 49 persen, dan gas 51 persen.