Waspadai Child Grooming, Cikal Bakal Terjadinya Pelecehan Seksual pada Anak
JAKARTA - Masyarakat Indonesia kembali geger dengan berita pelecehan seksual. Kali ini korbannya adalah putri penyanyi Pinkan Mambo, Michelle Ashley. Remaja 17 tahun itu pertama kali menceritakan pengalaman pahitnya di siniar milik Nadia Alaydrus pada 27 Juli lalu.
Apa yang diungkapkan Michelle sangat mengejutkan, dia mengaku mengalami pelecehan seksual selama beberapa tahun, tepatnya dalam kurun waktu 2018-2021. Yang lebih memilukan, pelaku yang tega melakukannya adalah suami kedua Pinkan Mambo, Steve Wantania, alias ayah tirinya sendiri.
“Kejadiannya (pelecehan seksual) mulai dari 2018 sampai 2021. Tapi ada selingan waktu. Setelah kejadian lima bulan, aku baru bisa speak up. Suami mamaku sempat keluar rumah, tapi lalu balik lagi,” kata Michelle membuka mimpi buruknya bersama ayah tiri.
Michelle Ashley mengaku sangat terpukul dan trauma. Dia bahkan tak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi gegara pelecehan seksual yang dialami. Di usianya yang 17 tahun, Michelle mengaku hanya memegang ijazah SD.
Michelle hanya satu dari sekian banyak anak-anak di Indonesia yang mengalami nasib tragis menjadi korban pelecehan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 pada 2022. Angka tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya, yaitu 4.162 kasus.
“Kita diingatkan bahwa ada satu kondisi dengan penekanan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi mengatakan peningkatan kasus pelecehan seksual terhadap anak di satu sisi harus dipandang sebagai sebuah kemajuan. Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto ini, kasus pelecehan seksual terhadap anak adalah sebuah fenomena gunung es, yang terlihat sedikit di permukaan padahal sebetulnya sudah ada sejak dulu.
“Di era sekarang ini sebenarnya makin tinggi kesadaran masyarakat terhadap perlindungan anak, sehingga memunculkan banyaknya pelaporan. Sebetulnya dari dulu sudah banyak, namun dulu karena takut, karena malu, karena khawatir dikucilkan jadi tidak melaporkan. Namun sekarang ini kesadaran masyarakat soal perlindungan anak mengalami kemajuan,” kata Kak Seto kepada VOI.
Kak Seto juga menyerukan agar kekerasan seksual terhadap anak bisa dihentikan dari hulu, dimulai dari lingkungan terkecil. Apalagi pelaku kekerasan tak jarang adalah orang dekat. Kepedulian masyarakat terhadap orang sekitar diharapkan dapat membantu menutup ruang gerak predator anak.
“Saat ini diperlukan seksi perlindungan anak dari hulu, mulai dari tingkat rukun warga, sehingga memudahkan pelaporan korban. Sebagai langkah preventif perlu dilakukan sosialisasi kepada orang tua untuk melindungi putra dan putri, terutama karena banyak pelaku adalah orang terdekat.”
Hukuman Predator Anak Belum Memuaskan
Kasus pelecehan seksual terhadap anak tampaknya tak pernah berhenti menghiasi pemberitaan media nasional. Ini adalah sebuah kenyataan yang jauh dari membanggakan, karena artinya hak merasa aman bagi anak-anak masih sulit dipenuhi.
Ancaman hukuman yang berat kepada pelaku pelecehan seksual seolah tidak mampu menghentikan niat untuk melakukan pelecehan seksual. Pelaku dapat dikenakan ancaman pidana karena melanggar pasar 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Kekerasan seksual yang terjadi di ranah domestik bukan kali ini saja terjadi. Pada Juli lalu, Polres Kuningan menangkap AW yang melakukan pencabulan terhadap dua anak sambungnya. AW melakukan pencabulan pada anak tiri yang pertama selama lima tahun dari 2012 sampai 2017, saat usianya masih sembilan tahun. Tidak berhenti sampai di situ, AW melanjutkan perbuatannya kepada adik korban selama tiga tahun dari 2020 sampai 2020. Saat itu usia korban masih 13 tahun.
Ironisnya, kasus pelecehan seksual yang dialami anak juga sering terjadi di lembaga pendidikan, seperti yang terjadi terhadap 13 siswi Sekolah Dasar di Minahasa, Sulawesi Utara. Pelakunya adalah guru honorer berinisial CA (29 tahun) dan saat ini sudah ditahan oleh pihak Polda Sulawes Utara.
Namun, salah satu yang paling membuat geger adalah terkuaknya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan terhadap 13 santrinya di Pesantren Madani Boarding School, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung pada 2021 silam. Dia melakukan pemerkosaan sejak 2016 dengan total korban 13 santri.
Dari jumlah tersebut, sembilan bayi lahir dari delapan korban yang rentang usianya 14 sampai 20 tahun. Akibat perbuatannya, Herry Wirawan divonis hukuman mati oleh Hakim Pengadilan Tinggi Bandung serta membayar restitusi kepada 13 korbannya yang ditotal mencapai Rp300 juta.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPA, Nahar, mengatakan, kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan terjadi tidak lepas dari adanya ketimpangan relasi kuasa yang besar antara pelaku dan korban. Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan tindakan yang dilakukan oleh pelaku, karena disertai ancaman.
“Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan adalah karena relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku tenaga pendidik dan juga ada ketergantungan yang besar dari anak didik untuk bisa naik kelas ataupun lulus sekolah dengan nilai baik. Posisi anak didik sangat lemah apalagi pelaku juga biasanya mengancam para korban. Dibutuhkan kesadaran dan kewaspadaan dari sesama tenaga pendidik jika melihat ada perubahan perilaku dari anak didiknya atau tindakan oknum pendidik yang mencurigakan. Orang tua juga diharapkan selalu berkomunikasi dengan anak-anak mereka dan terus menjelaskan kepada anak-anak mereka bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain,” kata Nahar.
Terlepas dari hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan, Kak Seto mengatakan masih banyak hukuman tidak setimpal yang diberikan kepada predator anak. Untuk itu, dia mengimbau seluruh masyarakat untuk berani bersuara dan memantau kejahatan seksual terhadap anak.
“Masih banyak hukuman yang tidak memuaskan, untuk itu kami mohon media ikut mengontrol, masyarakat berani bersuara, berani memantau. Kami juga mengharapkan para hakim bersabahat dengan anak, polisi bersahabat dengan anak, sehingga keputusan-keputusan di pengadilan ini bisa membela hak anak-anak,” tutur Kak Seto.
Mengenal Isu Child Grooming
Di tengah maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, orang tua memiliki andil penting dalam mencegah kasus tersebut. Orang tua mesti peka terhadap isu child grooming, yang dianggap berbahaya karena berpotensi menyebabkan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak. Istilah child grooming mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Child grooming adalah strategi yang dimanfaatkan untuk memengaruhi perasaan, emosi, dan pikiran seseorang. Pelaku child grooming biasanya memilih target anak-anak dan remaja yang dianggap rentan memiliki masalah keluarga atau kepercayaan diri.
Para pelaku child grooming berusaha mendekati target dengan cara memberikan perhatian intens dan perlakuan khusus dengan tujuan membangun hubungan yang dekat. Dengan demikian, anak menjadi lebih mudah patuh dan menuruti semua perintah serta keinginan. Pelecehan serta eksploitasi seksual terhadap anak merupakan salah satu dampak negatif dari child grooming.
Child grooming sendiri diilakukan dengan berbagai modus, seperti memberikan makanan, mengajak anak bermain permainan secara berlebihan, sering melakukan sentuhan fisik yang berlebihan seperti mengelus kepala, memegang, memeluk, atau memangku anak.
Biasanya anak yang menjadi korban merasa terjebak dan tidak mampu melawan kekuasaan pelaku, terutama jka ada perbedaan usia yang besar. Selain itu, ancaman dari pelaku juga kerap membuat korban tak kuasa melawan. Untuk bisa mencegah terjadinya child grooming, dapat dilakukan beberapa langkah seperti mengajarkan anak tentang batasan-batasan pribadi, serta mengajarkan cara mengidentifikasi perilaku mencurigakan dari orang dewasa.
Anak-anak merupakan masa depan bangsa, yang harus dilindungi hak-haknya. Karena itu, sangat penting untuk selalu memantau segala tindakan yang sangat berbahaya dan dapat merusak masa depan anak-anak. Akibat child grooming, anak yang menjadi korban dapat mengalami sejumlah dampak negatif, seperti kesulitan tidur, kesulitan konsentrasi di sekolah, sampai stres.
“Beberapa dampak psikologis yang umum terjadi termasuk yaitu Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), Depresi, Kecemasan dan ketakutan, rendahnya percaya diri dan harga diri, menarik diri dari lingkungan, gangguan makan, gangguan tidur, dan emosi negatif yang sulit untuk di kontrol,” kata psikolog Kasandra Sutanto kepada VOI.
Baca juga:
- Dari Kasus Miss Universe Indonesia: Stop Jadikan Perempuan Objek Seksual!
- Putri Ariani Dapat Jadi Pendorong Kesadaran Inklusivitas di Berbagai Sektor
- Pertemuan Rival Politik Sukses Curi Perhatian Warga Twitter Menurut Pantauan Netray
- Mengurus ODGJ Terlantar Tak Bisa Sembarangan, Meskipun Itu Aksi Mulia