Putri Ariani Dapat Jadi Pendorong Kesadaran Inklusivitas di Berbagai Sektor
JAKARTA - Penampilan Putri Ariani di America’s Got Talent (AGT) 2023 menyita banyak perhatian, baik dari media dalam maupun luar negeri. Soalnya, dia mendapatkan golden buzzer dari juri AGT, Simon Cowell, yang terkenal kritis.
Lagu garapannya sendiri, Loneliness, dan Sorry Seems to Be the Hardest Word yang dipopulerkan oleh Elton John disambut standing applause semua pendukung yang hadir di studio.
“Saya rasa kita semua merasakan hal yang sama,” ujar Simon sambil memandang tiga juri lainnya. “Kamu tahu, kamu 17 tahun, kamu menulis lagu, memiliki suara yang luar biasa dan khas. Dan maksud saya, benar-benar bagus,” lanjut Simon.
Juri kelahiran London, Inggris, tersebut lalu memencet tombol Golden Buzzer yang mengantar Putri Ariano langsung menembus babak semifinal AGT 2023.
Apa yang membuat keberhasilan Putri Ariani sejauh ini menyita atensi di Tanah Air bukan saja karena dia berasal dari Indonesia, tapi juga bahwa gadis kelahiran 31 Desember 2005 ini adalah penyandang tunanetra.
Pentingnya Pendidikan Inklusif
Penyandang tunanetra atau penyandang disabilitas secara keseluruhan, kerap dipandang sebelah mata di masyarakat. Mereka dianggap sebagai kelompok yang lemah, tak berdaya, dan perlu dikasihani. Karena itulah, banyak hak-hak penyandang disabilitas diabaikan, mulai dari hak memperoleh layanan pendidikan, kesehatan, sampai kemudahan mendapatkan fasilitas umum.
Padahal hak-hak para penyandang disabilitas diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2001, mulai dari hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan yang keras tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, hingga hak untuk bebas dari eksploitas, kekerasan dan perlakuan semena-mena.
Disebutkan dalam 1 UU Nomor 18 tahun 2016, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lannya berdasarkan hak.
Kesetaraan hak antara disabilitas dan non-disabiltas sejatinya memang sulit didapatkan di kehidupan nyata, di mana kita masih sering melihat diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Salah satu sektor yang rawan mendapatkan diskriminasi adalah pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya orangtua yang kesulitan mencari fasilitas pendidikan yang bersifat inklusif alias tidak membedakan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Bahkan beberapa tahun lalu, sistem Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) secara eksplisit menyebutkan syarat mengikuti SNMPTN adalah tidak calon mahasiswa tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, dan buta warna.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusif bagi para penyandang disabilitas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.
Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk sekolah umum dan di kelas reguler bersama teman seusianya. Melalui pendidikan inklusif, maka siswa dapat belajar bersama dengan aksesbilitas akan membuat dapat belajar bersama dengan aksesbilitas yang mendukung untuk semuanya.
Namun pada praktiknya, penyelenggaraan pendidikan inklusif masih memiliki banyak kendala, tidak hanya di Indonesia. Di Inggris misalnya, Richard Riese (2000) dalam esai Special Educational Needs or Inclusive Education: The Challenge of Disability Discrimination in Schooling mengungkapkan salah satu hambatan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah lingkungan yang tidak ramah dan menyulitkan bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk melaksanakan proses pembelajaran.
Apa yang terjadi pada Putri Ariani di AGT 2023 adalah bentuk kesetaraan hak penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Berkat suara emasnya, putri sulung pasangan Ismawan Kurnianto dan Ren Alfianty ini berhasil mendapatkan kesempatan tampil di ajang pencarian bakat bergengsi di Amerika Serikat.
Pemerintah juga memberikan dukungan penuh kepada Putri Ariani, melalui Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), yang juga Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rosan Perkasa Roeslani.
“Putri, pesan saya fokus menyanyi dan tidak usah memikirkan apa-apa. Pokoknya menyanyi yang bagus,” kata Rosan dikutip Antara.
Berbekal prestasinya di dunia tarik suara, kini Putri Arian selangkah lebih dekat untuk mewujudkan mimpinya melanjutkan pendidikan di sekolah seni di New York, Amerika Serikat, Juilliard School.
“Mimpiku adalah menjadi diva terbesar di dunia seperti Whitney Houston dan memenangkan penghargaan Grammy,” ucap Putri.
Menuju Ramah Disabilitas di Segala Sektor
Indonesia menjadi negara yang ramah disabilitas memang masih jauh dari ideal. Tapi isu yang mengangkat kesetaraan kaum disabilitas terus menggema dalam beberapa tahun terakhir.
Saat Solo menjadi tuan rumah ASEAN Para Games 2022 misalnya, Indonesia mengusung tagline Striving for Equality atau Berjuang untuk Kesetaraan. Keputusan Indonesia menjadi tuan rumah APG 2022 secara mendadak diapresiasi para atlet penyandang disabilitas. Ini dinilai sebagai bentuk keseriusan Indonesia memperhatikan atlet penyandang disabilitas, setelah Vietnam menyatakan mundur sebaga tuan rumah.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar mendukung atlet dengan disabilitas, dan apresiasi yang kami dapatkan sekarang sama seperti atlet non-disabilitas,” ucap atlet para angkat berat, Ni Nengah Widiasih.
Itu bukan pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga untuk para penyandang disabilitas bertaraf internasional. Pada 2018 lalu, Indonesia juga sukses menggelar Asian Para Games tak lama setelah Asian Games. Sementara Solo menjadi tuan rumah Asean Para Games untuk kedua kalinya setelah pertama kali pada 2011 lalu.
Baru-baru ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI juga mengungkapkan harapan agar seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Tanah Air ramah terhadap penyandang disabilitas.
“Harapan kami, (Pemilu) 2024 tidak ada lagi TPS yang tidak ramah disabilitas,” kata Pelaksana Harian (Plh) Ketua Bawaslu RI, Lolly Suhenty.
Pada Pemilu 2019, Lolly mengungkapkan pihaknya mencatat sebanyak 2.366 TPS yang tidak dapat diakses penyandang disabilitas. Namun jumlah tersebut berkurang menjadi 1.089 TPS pada Pilkasa 2020.
Dengan keberhasilan Putri Ariani dan para penyandang disabilitas lain di berbagai sektor, kita berharap kesadaran masyarakat soal inklusivitas terus meluas. Kesadaran bahwa semua orang memiliki hak yang sama, mulai dari hak mendapatkan pendidikan sampai hak-hak politik.
Baca juga: