Baju Demang: Dulu Pakaian Antek Penjajah Kini Jadi Pakaian Adat Betawi

JAKARTA - Eksistensi demang sebagai antek penjajah Belanda tak perlu diragukan. Mereka kerap ditugaskan empunya kuasa untuk menarik pajak di seantero Batavia. Barang siapa yang ogah membayar pajak, Belanda memberi kuasa demang untuk menghukumnya. Dari rampas harta hingga ternak.

Eksistensi demang itu nyatanya tak mati di era kekinian. Gaya pakaian demang menarik upeti kemudian diadaptasi jadi salah satu pakaian adat Betawi. Adaptasi itu kemudian hadirkan pro dan kontra.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak pernah mampu bekerja sendiri melanggengkan penjajahan di Batavia. Populasi orang Eropa yang terbatas jadi muaranya. Mereka kerap meminjam jasa suku bangsa lain. Kaum bumiputra, utamanya.

Beberapa bumiputra lalu diplot jadi demang. Mereka bertugas menarik pajak kaum tani yang bekerja di tanah milik tuan tanah Eropa. Jabatan demang pun eksis mulai akhir abad ke-19. Itupun mereka yang menjadi demang biasanya atas restu tuan tanah.

Alih-alih hanya terkenal jahat, para demang juga terkenal dengan tampilan busananya yang perlente dan mencolok. Kesan mengintimidasi kaum kecil muncul dari penggunaan busana itu. Demang pun tak segan-segan memeras kaum bumiputra yang tak bisa membayar pajak untuk mendapat persenan. Dari merampas harta hingga ternak.

Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Betawi, baju demang saat menyambut Raja Swedia, Carl XVI Gustaf di Istana Bogor pada 22 Mei 2017. (setkab.go.id)

Bejatnya aktivitas demang –sekalipun beberapa demang ada yang bersikap nasionalis—menimbulkan kebencian yang mengakar dari orang Betawi. Mereka melihat demang tak jauh beda dengan melihat hamba wet (polisi). Keduanya sama-sama membawa nuansa kebencian.

Pemberontakan yang timbul dari penarikan pajak jadi bukti. Kaum tani biasanya dipimpin oleh seorang Jago Betawi muncul melawan demang dan penjajah Belanda. kisah heroik itu hadir dalam sosok Kaiin Bapak Kayah, Entong Tolo, hingga Entong Gendut. Pemberontakan itu jadi wujud paripurna kebencian orang Betawi terhadap demang antek Belanda.

“Entong Tolo, seorang jago dan pedagang dari pondok gede, yang pindah ke Pagerarang Jatinegara, dengan dalih membantu para petani di tanah partikelir yang menderita karena tekanan pajak, merampok para tuan tanah di sekitar Sawangan dan Jatinegara. Sepak terjang Entong Tolo berhasil dipadamkan, setelah ditangkap oleh Camat Sawangan yang tentunya jago bermaen pukulan, karenanya dijuluki camat yang gagah berani. Atas usulan residen di Batavia, Entong Tolo dibuang ke Manado dengan tunjangan 10 gulden per bulan selama enam bulan.”

“Di Condet, penetapan peraturan baru di tahun 1912, di mana para tuan tanah berkewenangan menyita atau membakar harta milik para petani yang tidak dapat membayar belasting atau pajak, telah menimbulkan dendam, kebencian, dan perlawanan Entong Gendut. Terlebih ketika pajak sewa tanah dinaikkan sebesar 25 sen setiap minggunya, dengan konsekuensi kerja kompenian selama seminggu sebagai tebusan bagi para petani yang tidak mampu membayar,” terang G.J. Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016).

Jadi Pakaian Adat Betawi

Boleh jadi posisi demang dengan segala tingkah lakunya telah musnah di zaman penjajahan Belanda. Namun, gaya busana demang dengan kemewahannya terus dipertahankan. Baju demang kemudian dipopulerkan kembali lewat hajatan Pemilihan Abang None pada 1968.

Kaum pria yang mengenakan baju demang: baju putih, jas tutup berwarna gelap, batik geometris, celana pentalon, hingga aksesorisnya diakui sebagai identitas orang Betawi. Pun baju yang sering disebut dengan baju ujung serong kemudian diakui sebagai pakaian adat Betawi.

Pemilihan baju demang diakuisisi sebagai pakaian adat mendatangkan perdebatan. Ada yang menolak. Ada pula yang mendukung. Penolakan paling keras muncul dari Budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Ia pribadi merasa tak sudi mengenakan baju demang. Apalagi sebagai pakaian adat Betawi.

Ia menganggap baju demang justru mengingatkan kepada demang sebagai kaki tangan tuan tanah yang menindas orang Betawi. Pria yang akrab disapa Babe Ridwan lalu merasa tak habis pikir dengan pemerintah DKI Jakarta yang memilih baju demang. Empunya kuasa dianggap bak tak paham sejarah.

“Karena itu saya amat heran, ketika pada tahun 1968 sementara orang memutuskan pakaian Demang adalah resmi sebagai pakaian adat Betawi. Dari mana jalannya? Seumur hidup saya tidak pernah sudi tubuh saya berbalutkan busana yang dulu dikenakan oleh para penghisap darah rakyat Betawi.”

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengenakan pakaian adat Betawi, baju demang saat menhadiri sidang bersama DPD-DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 16 Agustus 2019. (Antara/Puspa Perwitasari)

“Seharusnya diketahui Demang adalah bajingan yang menindas petani-petan Betawi. Seharusnya juga diketahui bahwa Bang Pitung membunuh demang yang membuat celaka Ji'ih, saudara misannya. Mengapa pakaian yang dikenakan demang itu dijadikan pakaian kebesaran orang Betawi? Saya benar-benar tak habis pikir,” terang Budayawan Betawi, Ridwan Saidi dalam buku Jakarta: Dari Majakatera hingga VOC (2019).

Namun, tak semua budayawan Betawi senada dengan Ridwan Saidi. Banyak pula mereka yang justru menganggap baju demang adalah buah dari kreasi orang Betawi yang disesuaikan dengan pekembangan masa kini. Budayawan Betawi, Masykur Isnan, misalnya.

Ia menyebut kehadiran baju demang sebagai pakaian adat Betawi sudah tak lagi dilihat secara historis, tapi sebagai entitas budaya. Pun kalau mau disalahkan, maka salahkan demang sebagai individu, bukan kepada gaya busananya.

Penilaiannya itu dikarenakan baju ujung serong justru jadi perwujudan segala macam budaya dari bermacam suka bangsa yang ada di Betawi melebur jadi satu. Ia melihat kehadiran baju demang justru melengkapi kehadiran busana lainnya.

Pakaian adat keseharian orang Betawi diwakili oleh busana sadariah, pakaian demang untuk acara resmi, dan pakaian pengantin adat Betawi. Orang-orang pun dapat bebas menggunakan semua baju adat Betawi sesuai peruntukannya.

“Semua dibedakan berdasarkan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini terlihat juga ragam budaya yang khusus demang, dapat dilihat dalam konteks kekayaan variasi budaya yang melebur. Budaya China, Arab, Portugis, hingga Melayu. Di sisi lain, baju demang menampilkan sisi religius Islam yang kental sebagai ciri khas Betawi.”

“Dulu sah-sah saja demang identik dengan penindas pribumi, tetapi saat ini artinya jadi lebih luas dan tidak sesempit itu. Baju demang sebagai pakaian adat ditampilkan sebagai bagian khazanah Betawi yang elegan dan karismatik dalam berbusana. Budaya itu sejatinya berkembang sesuai zamannya. Baju ujung serong hadir sebagai entitas budaya, bukan lagi menjadi seperti dulu secara historis,” terang Masykur Isnan kala dihubungi VOI, 7 Agustus.