Kasus Perundungan Harus Dihentikan dari Rumah
JAKARTA - Kasus perundungan kembali mewarnai pemberitaan Tanah Air. Pekan ini, warga dikejutkan oleh kabar siswa SMA di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berinisial AS (15) yang menusuk teman sekolahnya, MR (15) di sebuah kelas. AS nekat melakukan tindakan tersebut diduga lantaran kesal sering jadi korban perundungan.
“Pelaku menerangkan karena sakit hati kepada korban. Korban saat itu membully pelaku dan saat itu teman-teman pelaku juga ada di situ. Memang pelaku sejak dulu sering dibully, jadi bukan sekali dua kali,” kata Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin Kompol Thomas Afrian.
Kabar perundungan bukan pertama kali terjadi. Sepertinya ini tidak akan menjadi kasus terakhir di Indonesia, khususnya di sekolah. Isu perundungan sampai sekarang masih menjadi salah satu perhatian utama di ranah pendidikan. Di era sekarang ini, tak sedikit para orangtua yang mengangkat isu tersebut sebelum memasukkan anak mereka ke sekolah. Alasannya sederhana, orangtua tak mau anaknya menjadi pelaku bahkan korban perundungan.
Sekolah sejatinya menjadi tempat yang aman, tempat di mana para orangtua menitipkan anak-anak mereka. Kurang lebih selama tujuh jam sehari atau lebih anak-anak berada di luar jangkauan orangtua karena mereka berada di sekolah.
Sayangnya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, tempat mencari pengalaman, tempat di mana anak belajar berinteraksi dengan sekitar, terkadang justru menjadi hal menakutkan. Itu merujuk pada tingginya fenomena perundungan yang terjadi di sekolah.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus-kasus perundungan di satuan pendidikan selama Januari hingga Juli 2023 sebanyak 16 kasus. Dari kasus tersebut, empat di antaranya terjadi pada bulan Juli 2023. Angka ini sangat disayangkan, mengingat tahun ajaran baru 2022/2023 baru saja dimulai pertengahan Juli lalu.
Dari 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, mayoritas terjadi dijenjang pendidikan SD (25%) dan SMP (25%); SMA (18,75%) dan SMK ( 18,75%); sedangkan di MTs (6,25%) dan Pondok Pesantren (6,25%).
Adapaun empat kasus yang terjadi selama bulan Juli 2023, yaitu perundungan terhadap 14 siswa SMP di Kabupaten Cianjur mengalami kekerasan fisik karena terlambat ke sekolah, kekerasan fisik dijemur dan ditendang dilakukan oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA/SMK.
Kasus lain terjadi di salah satu SMAN di kota Bengkulu, ketika 1 siswi yang didiagnosis autoimun mengalami perundungan dari 4 guru dan sejumlah teman sekelasnya. Kasus penusukan siswa korban perundungan ke siswa yang diduga kuat kerap membully di salah satu SMA di Banjarmasin sangat mengejutkan publik.
Bullying, dikutip dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.
Jadikan Rumah Pusat Pendidikan
Mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, sekolah adalah Taman. Taman merupakan tempat belajar yang menyenangkan, anak dating ke Taman dengan senang hati dan berat hati untuk meninggalkannya. Lalu, apakah sekolah sekarang sudah menjadi seperti Taman?
Di sebagian sekolah, entah itu negeri maupun swasta, memang sudah menjadi tempat yang ramah anak. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak pula kasus perundungan yang terjadi di institusi pendidikan.
Namun menurut Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti, Msi, rumah atau keluarga adalah pusat pendidikan, tempat pertama dan paling penting untuk membentuk perilaku anak. Anak yang menerima perlakuan yang menyenangkan di rumah, maka dia pun akan bersikap menyenangkan di sekolah. Sebaliknya, anak-anak yang sering mendapat kekerasan di rumah maka dia akan melampiaskan kemarahannya kepada teman-temannya di sekolah.
“Anak yang melakukan kekerasan biasanya dapat kekerasan di rumah. Bullying atau perundungan ini sangat bergantung pada masa lalu anak. Sekolah adalah rumah kedua, sementara rumah pertama anak adalah keluarga, yaitu di rumah. Apa yang terjadi di sekolah adalah bentukan dari rumah,” ujar Retno Listyarti kepada VOI.
Hal senada juga diungkapkan psikolog Tika Bisono, M.PsiT, yang menekankan pentingnya peran keluarga, dalam hal ini orang tua, dalam membentuk perilaku anak. Keluarga yang bahagia biasanya akan melahirkan anak-anak yang bahagia juga, sehingga mereka tidak melakukan perundungan. Pola asuh tertentu disebutkan Tika Bisono dapat mendorong akan untuk melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, kepada orang lain yang lemah karena itu dilakukan sebagai bentuk mempertahankan diri atas ketidakmampuan dia d rumah.
“Dari banyak kasus perundungan, hampir selalu berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, dan budaya sebuah keluarga. Pola asuh otoriter dari anggota keluarga ke pihak lain bisa memengaruhi perilaku anak di sekolah,” tutur Tika Bisono.
“Karena di rumah mereka tidak bisa membalas, maka untuk membalas itu dilakukan di luar. Membalas ini sebetulnya mekanisme pertahanan diri, supaya seimbang, supaya dia survive atau bertahan.”
Dilema Hukuman Pelaku Perundungan
Pencegahan terjadinya perundungan di sekolah telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2015 dan undang-undang perlindungan anak. Sekolah juga seharusnya membentuk pos pengaduan agar aksi perundungan bisa diminimalisasi.
Namun menurut Retno Listyarti masih banyak sekolah di Indonesia yang tidak memiliki pos pengaduan tersebut. Padahal pos pengaduan akan sangat membantu memonitori ada tidaknya kasus perundungan di sekolah, terutama ketika korban bungkam.
Sementara itu, Tika Bisono menyebutkan kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah diyakini akan memberi impak positif menekan kasus perundungan di lembaga pendidikan.
“Pertama, bisa dibuat buku penghubung yang diisi oleh orangtua dan guru sebagai alat komunikasi yang sifatnya privasi,” tutur Tika Bisono.
“Kedua orangtua dan anak juga harus terbuka. Budaya terbuka, terutama dari orangtua terhadap anak wajib ada. Sehingga dengan demikian anak akan dengan sendirinya terbuka kepada orangtua.”
Kasus perundungan seringkali membuat kita geram, apalagi para pelaku perundungan kerap lolos dari hukuman karena terbentur undang-undang perlindungan terhadap anak. Padahal, tak sedikit di antara kita yang berharap pelaku diberi hukuman setimpal supaya memberikan efek jera.
Di mata kriminolog Rizky Nur Kamrullah, memberikan hukuman kepada pelaku perundungan di bawah umur adalah dilematis.
“Memberi hukuman sebenarnya dilematis. Kalau diharapkan ada efek jera, sangat sulit memberikan hukuman keras karena kebanyakan pelaku bullying ini usia sekolah,” kata Rizky kepada VOI.
“Apakah hukuman keras atau berat bisa memberikan efek jera, belum tentu. Perlu dilihat apakah hukuman itu bisa bermanfaat. Misal ketika anak dipenjarakan, belum tentu menjadi baik. Tak sedikit juga yang masuk menjara justru malah tambah rusak.
“Dalam peradilan pidana, sejatinya menyesuaikan atau adaptif dengan kondisi masyarakat,” pungkas Rizky.
Baca juga: