Supaya Tak Ada Lagi Dana ‘Bedah Rumah’ Warga yang Malah Disalahgunakan

JAKARTA - Komisi VIII DPR RI meminta Pemerintah melakukan perbaikan sistem pengawasan terkait penerapan anggaran dalam program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) bagi warga tak mampu. Hal ini menyusul adanya penyalahgunaan yang dilakukan oleh oknum aparat desa.

Bantuan dana RLTH merupakan bantuan stimulan berupa uang untuk pembelian bahan bangunan guna pemugaran rumah tidak layak huni dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, khususnya untuk warga tidak mampu. Bantuan dana itu disalurkan melalui Pemerintah Daerah (Pemda).

Pemberian bantuan diberikan dengan kriteria warga yang rumahnya tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni.

Meski merupakan program Kementerian PUPR, bansos bedah rumah untuk warga kurang mampu yang diberikan itu harus berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) milik Kementerian Sosial (Kemensos).

Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina mengatakan, hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih pemberian bantuan. Apalagi Kemensos juga memiliki program serupa, yaitu Bansos Rumah Sejahtera Terpadu (RST) yang merupakan kelanjutan dari program sebelumnya berupa Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS Rutilahu).

"Kesepakatannya baik itu PUPR dan kementerian atau lembaga manapun yang memiliki program bedah rumah untuk warga miskin maka dia harus berdasarkan DTKS milik Kemensos agar tidak tumpang tindih," terang Selly, Selasa 18 Juli.

"Kemudian acuan untuk pembangunannya pun harus sama seperti RST dari Kemensos agar tidak ada perbedaan. Selama ini yang dari PUPR jadi ditenderkan sehingga rentan disalahgunakan oleh oknum perangkat daerah, sementara kalau program dari Kemensos uang langsung masuk ke rekening penerima," lanjutnya.

Dalam program RLTH, Kepala Desa (Kades) biasanya ditugaskan Pemda untuk ikut memantau, mulai dari pencairan dana hingga pelaksanaan rehabilitasi rumah warga yang mendapat bantuan. Namun belakangan banyak ditemukan penggelapan dana bansos RLTH untuk masyarakat yang dilakukan oknum Kades.

Peristiwa korupsi program bantuan rumah tidak layak huni di antaranya terjadi di Bekasi di mana oknum Kades ditangkap karena menyelewengkan dana sebesar Rp235 juta. Kasus serupa juga pernah terjadi pada tahun 2021 di Bogor, Jawa Barat, yang berujung seorang oknum Kades ditahan karena korupsi sebesar Rp110 juta.

Sementara itu, seorang mantan Kades di Boyolali diseret ke Pengadilan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan program RTLH dengan modus memotong dana bantuan. Total nilai kerugian negara mencapai Rp 164 juta.

“Jangan mengambil hak rakyat kecil, apalagi warga yang membutuhkan. Program RLTH ini kan bertujuannya untuk membantu mengentaskan kemiskinan ekstrim yang ranahnya Kemensos. Jadi perlu melibatkan Kemensos sehingga penyalurannya pun tepat," papar Selly.

"Penggunaan anggaran bantuan seharusnya harus diawasi oleh Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), seperti yang dilakukan oleh Kemensos. Nah yang dari PUPR ini pengawasannya harusnya lebih detail supaya tidak gampang disalahgunakan,” tuturnya.

Meski ada sejumlah kasus korupsi, Selly menilai program bansos bedah rumah di daerah-daerah harus tetap dijalankan. Sebab bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni itu sangat membantu masyarakat untuk tinggal di hunian yang layak.

“Bantuan bedah rumah dibuat untuk mewujudkan rumah layak huni yang didukung dengan prasarana, sarana, serta utilitas umum sehingga menjadikan rumah yang sehat, aman, dan dengan sanitasi yang baik,” ujar Selly.