Hasbi Hasan dan Kebobrokan Wakil Tuhan Yang Mulia di Indonesia
JAKARTA – Hakim sering diistilahkan sebagai “wakil Tuhan di muka bumi”. Sebutan tersebut menyiratkan betapa terhormat kedudukan seorang hakim dibandingkan profesi lain yang ada di dunia. Bahkan dalam setiap persidangan, seorang hakim wajib dipanggil sebagai “Yang Mulia”.
Hasbi Hasan, Sekretaris Mahkamah Agung (MA) saat ini sedang jadi berita panas di Indonesia. Bukan karena reputasi hebatnya sebagai hakim, namun karena dia terjerat kasus korupsi. Hasbi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap pengaturan perkara di MA.
Harga diri “Wakil Tuhan” bernama Hasbi Hasan sungguh sangat murah, hanya Rp3 miliar! Wakil Tuhan itu kini mendekam di Rutan KPK per Rabu 12 Juli 2023. Badannya dibalut jaket jingga, yang selalu dipakaikan kepada bandit-bandit kerah putih yang terciduk mencari cuan dengan cara yang sama sekali tidak terhormat. Tangannya pun diborgol, lambang bahwa Hasbi adalah manusia yang terbelenggu akibat perbuatannya.
Hasbi diduga menerima suap atas kasus pengurusan perkara sengketa debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana bernama Heryanto Tanaka, di Pengadilan Negeri Semarang. Heryanto kalah berperkara dari Budiman Gandi Suparman, dan dia tidak puas atas putusan PN Semarang tersebut.
Singkat cerita, Heryanto lantas mengajukan kasasi ke MA. Orang-orang yang dia percaya untuk mengurus kasasi tersebut mensyaratkan pemberian sogokan kepada pihak yang berpengaruh di MA. Dan pihak yang “berpengaruh” itu adalah Hasbi Hasan.
“Dalam komunikasi itu, HH (Hasbi Hasan) sepakat dan menyetujui untuk turut ambil bagian dalam mengawal dan mengurus kasasi perkara HT (Heryanto Tanaka). DTY (Dadan Tri Yulianto) membagikan kemudian menyerahkan kepada HH (Hasbi Hasan) besaran diterima HH kurang lebih sekitar Rp3 miliar,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung KPK, 12 Juli 2023.
Putusan kasasi pun akhirnya sesuai dengan harapan Heryanto. Budiman Gandi dinyatakan bersalah, dan dihukum 5 tahun. Dikatakan oleh Firli bahwa kemenangan kasasi Heryanto tak lain berkat “pengawalan” Hasbi, sebagai “orang berpengaruh” di MA.
Hasbi Hasan dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, akibat kelakuannya yang sama sekali tidak mulia.
Latar Belakang Hasbi
Hasbi Hasan lahir di Bandar Lampung pada 22 Mei 1967. Pendidikan Hasbi tidak main-main karena ada tiga gelar kesarjanaan yang melekat pada dirinya: Sarjana Hukum, Magister Hukum, dan Doktor. Tak hanya sampai di situ, sebagai pendidik profesional dia juga menyandang gelar kehormatan Profesor bidang ilmu peradilan ekonomi Islam yang dianugerahkan Universitas Lampung.
Dalam posisinya sebagai birokrat, Hasbi juga pernah menduduki sederet jabatan mentereng sebelum menjadi Sekretaris MA. Tercatat dia pernah menjadi hakim tinggi di Pengadilan Agama Palu, Direktur Pembinaan Administrasi pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Kementerian Agama Republik Indonesia, Kepala Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, dan Kepala Bagian Kesekretariatan Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Belum lagi reputasinya di bidang organisasi yang juga hebat. Hasbi pernah menjadi Ketua Umum Dewan Pakar KAHMI Provinsi Lampung, Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah, Pengurus Ikatan Hakim Indonesia, serta Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia.
Hasbi Hasan jelas punya jejak pendidikan dan karier yang sangat mumpuni, tetapi mengapa dia masih sudi melakukan korupsi?
Menurut teori, ada banyak hal yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Banyak pula teori yang mengungkap alasan perilaku koruptif. Salah satunya dari Jack Bologne, yang dituliskan dalam buku Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques. Teorinya dikenal sebagai GONE Theory: Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan).
Hasbi Hasan bisa jadi memang serakah, tidak pernah puas. Dia punya kebutuhan entah apa. Dan pasti mendapatkan kesempatan karena ada tawaran dari Heryanto, dan itu Hasbi nyatakan karena jabatannya sebagai Sekretaris MA. Hasbi mantab dan nekat melakukan korupsi karena dia sangat tahu, hukuman untuk kejahatan itu sangat rendah!
“Mencari penyebab korupsi tentunya dapat beraneka ragam. Namun semua penyebabnya berasal dari kegagalan menguasai diri sendiri,” ujar Edi Abdullah, seorang pengiat antikorupsi.
Pasal 2 UU Tipikor menyebutkan hukuman kurungan bagi koruptor minimal empat tahun, maksimal 20 tahun. Jika harus dihukum denda, maka pembayaran minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. Hukuman tersebut justru diperingan dengan kehadiran UU Nomor 1 tahun 1922 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP yang baru, hukuman kurungan bagi koruptor minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun. Untuk denda, minimal Rp10 juta dan maksimal Rp2 miliar.
Jumlah Hakim Terlibat Korupsi
Dikutip dari Katadata, sepanjang 2004-2022 ada 34 aparat penegak hukum yang tersangkut kasus korupsi. Dari jumlah total tersebut, profesi hakim mendominasi dengan jumlah 21 kasus. Sebanyak 10 kasus dilakukan jaksa, sementara polisi ada 3 kasus.
Sebelum Hasbi Hasan, ada juga hakim yang dijerat pasal korupsi. Dia adalah Sudrajad Dimyati, hakim agung di MA yang juga tersangkut perkara Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Kasus KSP Intidana ini menyeret enam hakim di MA. Selain Hasbi dan Dimyati, ada pula Elly Tri Pangestu (sedang diadili di PN Bandung), Prasetyo Nugroho (terdakwa), dan Edy Wibowo (terdakwa).
Di luar institusi MA, ada juga sosok hakim terkenal yang kejeblos perkara korupsi. Kedua hakim tersebut berasal dari Mahkamah Konstitusi, yatu Akil Mochtar (dihukum seumur hidup) dan Patrialis Akbar (dihukum bui 7 tahun).
Aparat hukum, “Wakil Tuhan Yang Mulia” seharusnya menegakkan aturan hukum. Ironinya, mereka justru melakukan korupsi demi memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Lembaga hukum tertinggi yang seharusnya menjadi tempat mengadu bagi masyarakat untuk mencari keadilan, justru menjadi gelanggang transaksi bisnis bagi mereka yang mencari kekuasaan dan cuan.
Sepanjang 2004-2022 ada lebih dari 1400 kasus korupsi yang ditangani KPK. Sebanyak 310 orang adalah anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah. Pemimpin daerah tingkat I dan II berjumlah 154, serta 260 kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah eselon III hingga I.