Alasan Pembentukan dan Pasal Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang masuk dalam Program Legislasi Nasional memunculkan perdebatan di masyarakat. RUU ini muncul karena ingin keluarga di Indonesia masuk kategori ideal.
Salah satu pengusulnya, anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani. Dia menerangkan, munculnya RUU ini karena kesadaran bahwa keluarga merupakan batu bara dalam gerbong peradaban. Dia membantah ketika RUU ini disebut bertujuan mengintervensi kehidupan rumah tangga.
Menurut Netty, tidak semua keluarga di Indonesia masuk dalam kategori sejahtera karenanya dengan adanya RUU ini, dia ingin keluarga-keluarga di Indonesia bisa masuk dalam kategori ideal.
"Maka negara harus memberikan akses agar keluarga-keluarga ini dalam berbagai stratanya, dalam berbagai matranya, bisa memiliki ketangguhan," tuturnya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 18 Februari.
Netty mengatakan, jika merujuk data dari BKKBN pada 2015, sebanyak 51,7 persen kepala keluarga di Indonesia merupakan tamatan sekolah dasar (SD). Dia merasa heran dengan pola pembentukan keluarga ketika kepala keluarganya tamatan SD.
Karenanya, dengan adanya RUU ini keluarga akan memiliki imunitas dan ketahanan. Hadirnya RUU ini bukan untuk mengintervensi kehidupan suatu keluarga, termasuk, menentukan seseorang menikah dengan siapa.
Selanjutnya Netty menerangkan, alasan lain pembentukan RUU ini agar keluarga Indonesia memiliki nilai-nilai kejujuran dan kemandirian. Dengan begitu, keluarga akan memiliki kesiapan dalam menjalani bahtera kehidupannya.
"Kita ingin keluarga dalam situasi apapun mampu keluar dari krisis dan kemudian itu dilakukan. Nilai-nilai radikalisme, yang membahayakan, itu kan bisa diantisipasi, bisa dicegah mulai dari keluarga. Itu yang kita harapkan," tuturnya.
Baca juga:
Pasal kontroversi
Ada 146 pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga. Beberapa pasalnya dipermasalahkan. Di antaranya, penyimpangan seksual, kewajiban istri mengurus rumah tangga dan soal sperma.
Di dalam bab penjelasan RUU Ketahanan Keluarga, sejumlah pasal membahas soal penyimpangan seksual, yang dalam penjelasannya dilekatkan dengan Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT), seperti Pasal 86 dan 87.
Pasal 86 menyebutkan: "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Sedangkan pasal 87 berbunyi: "Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Kemudian perdebatan publik terjadi pada Pasal 25 ayat (3) yang menyebut kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri, yakni:
a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
b. menjaga keutuhan keluarga; serta
c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain mengatur soal penyimpangan seksual, RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur soal hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait sperma dan ovum rakyat Indonesia. Setidaknya, ada empat pasal dalam RUU yang mengatur terkait hal itu.
Pasal 26 ayat (1) menyebut pasangan suami istri berhak melakukan reproduksi. Kemudian pada ayat (2) diatur reproduksi bisa dilakukan secara alamiah dan menggunakan teknologi perantara.
"Setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah berhak memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dengan cara alamiah atau teknologi reproduksi bantuan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami-istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal," tulis RUU tersebut.
Kemudian, pasal 31 RUU itu melarang praktik jual beli sperma atau ovum untuk keperluan memperoleh keturunan. Pada ayat (2) juga melarang setiap orang untuk membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain untuk memperjualbelikan sperma ataupun ovum.
RUU Ketahanan Keluarga juga menyiapkan sanksi denda dan pidana bagi pelanggar dua hal tersebut. Pasal 139 menyebut orang yang memperjualbelikan sperma atau ovum diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
Tak hanya itu, RUU ini juga mempidanakan orang yang sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain untuk memperjualbelikan sperma ataupun ovum. Aturan ini tertuang di dalam pasal 140.
"...dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)," bunyi pasal 140.
Dalam RUU ini, ada juga aturan tentang surogasi rahim atau ibu pengganti. Aturan terkait surogasi ini tertuang di dalam draf RUU Ketahanan Keluarga Pasal 32. Sementara aturan sanksi pidananya tertuang di dalam pasal 141, 142 dan 143.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi, "Setiap Orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan." Sementara, ayat (2) berbunyi, "Setiap Orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan."
Lalu, Pasal 141 berbunyi, "Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan surogasi untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Kemudian, Pasal 142 berbunyi, "Setiap Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersediamelakukan surogasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) untuk memperoleh keturunan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tahun) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Selanjutnya, Pasal 143 ayat (1) berbunyi, "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)."
Kemudian, ayat (2) berbunyi, Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, masalah pidana penjara seperti ini harusnya menyingkronkan dengan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III. Tapi menurutnya, hukuman pidana penjara RUU Ketahanan ini bisa diganti dengan pidana denda atau kerja sosial.
"Iya dengan dong pokoknya undang-undang itu ketentuan pidananya harus disinkronkan buku satu RUU KUHP yang nanti jadi KUHP. Di mana, di sana kalau pun sebuah perbuatan perisitiwa itu dianggap peristiwa pidana ujungnya tidak harus pidana penjara. Bisa denda bisa kerja sosial bisa juga pidana pengawasan," jelasnya.