DPR Minta Kader Partai Boleh Jadi Anggota KPU dalam RUU Pemilu Dianggap Sebagai Kemunduran Berpolitik

JAKARTA - DPR RI mengajukan satu pasal yang menarik perhatian dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Belum jelas fraksi mana yang mengusulkan, ada pasal yang menyebut bahwa kader partai politik boleh menjabat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam draf per tanggal 26 November 2020, Pasal 16 Ayat (7) menyatakan bahwa komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik secara proporsional berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa menjelaskan alasan masuknya usulan tersebut dalam draf RUU Pemilu. Kata dia, pada dasarnya jajaran Anggota KPU tiap periode dipilih oleh suara anggota DPR. 

"Kadang fenomena penyelenggara yang walaupun dari pihak independen tetap saja pada dasarnya, mereka juga ditentukan oleh DPR yang itu tetep juga bagian dari parpol juga," kata Saan di Gedung DPR RI, Selasa, 26 Januari.

DPR, kata Saan, menganggap bahwa keanggotaan KPU tidak lepas dari keterkaitan partai politik dalam fraksi di DPR. Saan menyebut bahwa ada saja calon anggota KPU yang sowan ke partai untuk mendapat dukungan.

"Misalnya dia mau jadi komisioner, dia tetap datang ke partai untuk mendapatkan dukungan dan sebagainya, tentu kan di situ ada kesepahaman ada kesepakatan dan sebaginya. Jadi, ada semacam, ya, secara sama-samar tetap terkait dengan partai politik. Enggak bisa lepas dari situ. Kalau memang seperti itu, kenapa enggak dari partai sekalian saja?" lanjutnya.

Namun, usulan ini belum pasti akan dimasukkan dalam rancangan final RUU Pemilu karena masih sebatas usulan sejumlah anggota DPR dan masih dalam pembahasan.

Pemahaman DPR mundur

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menganggap usulan agar kader parpol bisa jadi Anggota KPU adalah suatu kemunduran berpolitik.

Mari berkaca pada pergelaran pesta demokrasi tahun 1999. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dan diganti dengan B.J. Habibie, pemerintah mengadakan pemilu pertama setelah masa reformasi. 

Saat itu, anggota KPU yang dibentuk terdiri dari 48 orang perwakilan partai politik dan 5 orang wakil pemerintah. Hasilnya, sejumlah partai yang kalah tidak mengakui hasil pemilu. Sehingga, KPU menghadapi situasi deadlock.

"Kita punya pengalaman di Pemilu 1999. Pada saat itu, partai politik yang tidak mendapat kursi menolak untuk mengesahkan hasil pemilu dan akhirnya pengesahan hasil pemilu ditetapkan oleh Presiden Habibie," kata Ninis kepada VOI.

Sejak saat itu, DPR bersama pemerintah mengeluarkan UU Nomor 4 tahun 2000 yang secara tegas menyatakan bahwa anggota KPU terdiri dari orang-orang independen dan nonpartisan.

Terlebih, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 81/PUU-IX/2011. MK menegaskan bahwa penyelenggara pemilu haruslah lembaga yang independen. Hal ini juga sudah tercantum dalam Pasal 22E UUD 1945 yang menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Sehingga, jika ada orang yang berlatar belakang partai ingin maju sebagai penyelenggara pemilu maka harus ada jeda waktu 5 tahun setelah mundur dari partai.

"Jadi, menurut saya usulan dalam RUU Pemilu itu merupakan kemunduran. Adanya unsur kepentingan inilah salah satu yang dikhawatirkan jika partai menjadi penyelenggara pemilu," ucap dia.