Santap Syahwat di Bina Ria: Adegan Seks di Tempat Umum

JAKARTA - Ancol adalah pesona di utara Jakarta. Kawasan ini pernah jadi pusat hiburan utama warga Ibu Kota. Semua itu berkat mimpi Soekarno yang ingin punya “Disneyland.” Lewat mimpi itu, Taman Rekreasi Bina Ria pun lahir pada 1967. Akan tetapi, cikal bakal dari Taman Impian Jaya Ancol ini dikenal dengan dua wajah. Selain sebagai kawasan wisata Baru, Bina Ria juga dikenal sebagai tempat berpelesirnya laki-laki hidung belang. Bina Ria adalah tempat ‘indehoy’ atau bersedap syahwat.

Sejak pertama kali diresmikan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) pada 25 Juni 1967, Bina Ria langsung menarik perhatian warga Jakarta. Di hari peresmian Bina Ria, khalayak berduyun-duyun mendatangi Ancol. Tujuannya adalah untuk menikmati Pantai Bina Ria yang digembar-gemborkan sebagai pantai berpasir putih.

Lebih lagi, kemeriahan acara pembukaan Bina Ria turut menghadirkan beragam atraksi. Beberapa di antaranya, seperti lomba renang jarak seribu meter, demonstrasi ski air, demonstrasi mobil amfibi, akrobat, gadis plastik, dan musik. Melengkapi hal itu, empunya hajatan tak lupa melakukan promosi untuk memasarkan penjualan kaveling tanah untuk daerah industri, perumahan, dan pusat rekreasi di Ancol.

Lebih lengkap terkait peresmian Bina Ria kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Sejarah Bina Ria: Mimpi Bung Karno Punya Disneyland".

“Sebagai proyek pertama Ancol, Bina Ria dibangun dengan biaya Rp. 7,5 juta. Minimnya tempat rekreasi di Jakarta membuat warga berbondong-bondong ke Bina Ria. Untuk menikmati kesegaran udara pantai dan pasir putihnya, pengelola menyiapkan tenda yang bisa disewa dengan harga Rp. 100 per jam. Faktor keamanan pun dijamin dengan ditugaskannya hansip. Karcis masuk ke lokasi ini, orang dewasa Rp. 10, anak-anak Rp. 5, mobil Rp. 50, motor dan bemo Rp. 10, serta sepeda Rp. 5,” tulis laporan harian Kompas berjudul Bina Ria, Pantai, Bikini, Dan Motor (1967).

Santap syahwat di Binaria

Kepopuleran Bina Ria turut serta mendatangkan nona-nona cantik pekerja seks komersial (PSK). Di Bina Ria, mereka mangkal di sepanjang pantai sebelah timur untuk mengais rejeki. Bahkan aktivitas pelacuran ilegal itu berlangsung tiap malam tanpa jeda.

Tiap hidung belang yang memerlukan jasa PSK kemudian mendatangi PSK langsung atau becak komplit —kendaraan yang membawa PSK— untuk tawar menawar harga. Senapas dengan itu, permainan seks kemudian dilakukan di lokasi yang disepakati bersama. Banyak dilakukan di tempat umum yang semi tertutup, bahkan semak-semak.

Ferris wheel di Dufan, Ancol (Instagram/@ancoltamanimpian)

“Bina Ria juga terkenal sebagai lokasi prostitusi tempat pekerja seks banyak berdiri di sepanjang pantai sebelah timur, yang banyak terdapat tenda tempat orang bisa duduk-duduk. Permainan seks bisa dilakukan di tenda-tenda, di dalam mobil yang diparkir di tempat gelap, di hotel dekat situ bahkan di semak-semak yang banyak terdapat di sekitar Pantai Ancol. Saya kira ide binaria ini mirip seperti Lover’s Lane yang dikembangkan di Amerika Serikat (AS) pada 1950-an,” ujar Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2019).

Kegiatan santap syahwat pun tak cuma berlangsung di sepanjang Pantai Bina Ria. Di bioskop drive-in Bina Ria, kegiatan asusila itu sering terjadi. Utamanya dilakukan oleh muda mudi. Setelah membayar tiket masuk, mobil akan diparkirkan menghadap ke layar besar yang mempertunjukkan film. Dalam momentum itulah biasanya pasangan muda-mudi 'larut'.

Terkait bioskop drive-in ini kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Di Bina Ria, Berdirilah Drive in Cinema Pertama di Indonesia”.

“Pertunjukan film hanya pada malam hari, jadi dengan suasana yang cukup gelap di sekitar kita. Nonton drive-in tentunya banyak dilakukan pasangan muda-mudi sambil berpacaran. Sering terlihat samar-samar mobil yang diparkir bergoyang-goyang karena penumpang di dalamnya juga ikut bermain film,” tambah Firman Lubis.

Drive in cinema di Bina Ria (Sumber: Wikimedia Commons)

Terkait Bina Ria jadi tempat mangkalnya PSK bertarif murah juga sempat sampai ke telinga pemimpin proyek pembangunan Ancol, Soekardjo Hardjosoewirjo. Baginya hal itu tak dapat ditolerir. Apalagi, PSK bertarif murah itu sering kali tak bisa dideteksi kedatangannya. Mereka biasanya masuk dengan baju biasa. Namun, saat masuk area Bina Ria, mereka segera ganti baju. Lantaran itu nama Bina Ria jadi miring.

"Di antara pengunjung yang datang ke Ancol, hadir pula para nona-nona cantik yang rupanya berprofesi sebagai PSK, yang biasa beroperasi di sepanjang Jalan Gunung Sahari dan Kramat Tunggak. Keadaan itu merisaukan Soekardjo walau mereka masuk dengan membeli karcis" kenang Soekardjo dikutip Sugianto Satrosoemarto dalam buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010).

Soekardjo pun tak tahan. Soekardjo lalu melaporkan hasil amatannya kepada Ali Sadikin. Oleh Bang Ali, keluhan Soekardjo dianggap biasa-biasa saja. Sebab, Bang Ali –sapaan akrab Ali Sadikin— membiarkan para PSK itu tetap berada di Ancol dan bebas menjalankan pekerjaannya tanpa ditangkap.

"Bukan kamu yang dosa. Itu urusan mereka sendiri. Kamu nggak dosa, yang dosa itu mereka. Sudah biar saja," kata Bang Ali.

Begitulah tanggapan Ali Sadikin yang sempat dijuluki Gubernur Maksiat karena kebijakan kontroversialnya. Jadi, para PSK itu tak ditangkap. Setelah mendengar tanggapan Bang Ali, beban moral dan perasaan Soekardjo menjadi lebih ringan.

Soekardjo boleh tenang, tapi lain halnya dengan ibu-ibu Yayasan Bina Ria yang sedari awal membantu pendanaan Proyek Ancol. Mereka merasa risau dengan perkembangan Ancol yang menjadi tempat mangkal para PSK. Imbasnya, ibu-ibu itu memilih mengundurkan diri dari kerja sama mengembangkan Ancol.

“Orang berkata wanita 'P' –inisial PSK— itu harus ditampung dan disalurkan ke berbagai proyek setelah diindoktrinasi. Saya tidak sepaham dengan jalan pikiran itu. karena jumlahnya puluhan ribu, sementara penganggur pun tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu, wanita-wanita ‘P’ itu sudah keenakan dengan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan duit,”ucap Bang Ali menjelaskan mengapa dirinya membela PSK dikutip Ramadhan K.H dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).