Tahun Ini Dana Desa Difokuskan untuk Pembangunan, Jangan Sampai Dikorupsi
JAKARTA – Desa-desa di Indonesia tengah memulihkan diri dari dampak pandemi COVID-19. Mayoritas pengeluaran dana desa bukan lagi untuk penanggulangan bencana dan kebutuhan mendesak, melainkan sudah diarahkan untuk pembangunan.
Merujuk data yang dipaparkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, komposisi penggunaan dana desa untuk penanggulangan bencana dan kebutuhan mendesak pada tahun anggaran 2022 bisa mencapai 43 persen.
Sementara, pengeluaran untuk pelaksanaan pembangunan desa hanya 33 persen atau sekitar Rp23 triliun dari total anggaran dana desa sebesar Rp68 triliun.
Namun tahun ini, komposisi pengeluaran bergeser. Fokus mengarah ke pembangunan. Gus Halim mengatakan pengeluaran untuk pelaksanaan pembangunan meningkat hingga mencapai 52,87 persen atau sekitar Rp35,9 triliun.
Begitu juga komposisi pengeluaran untuk pembinaan kemasyarakatan dari hanya 4 persen pada 2022 menjadi 8,05 persen tahun ini. Serta, pengeluaran untuk pembinaan kemasyarakatan dari 3,17 persen menjadi 5,35 persen.
Sedangkan komposisi untuk penanggulangan bencana dan kebutuhan mendesak, seperti bantuan langsung tunai dan lainnya hanya 17 persen.
“Ini karena COVID sudah berkurang dan alhamdulillah sekarang sudah dinyatakan endemi oleh Pak Presiden,” kata Gus Halim saat temu media di Kuningan, Jakarta Selatan pada 22 Juni 2023.
Indikasi desa tengah mengalami pemulihan juga tampak dari anggaran pendapatan desa yang mengalami peningkatan dari Rp117 triliun pada 2022 menjadi Rp124 triliun tahun ini.
Seperti dari pendapatan asli daerah dari 2,61 persen menjadi 2,65 persen, penerimaan bantuan keuangan provinsi dari 2,67 persen menjadi 2,82 persen, bantuan keuangan kabupaten/kota dari 3,65 persen menjadi 4,03 persen, penerimaan bagi hasil pajak retribusi dari 3,13 persen menjadi 3,62 persen, dan penerimaan lainnya ditambah sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) dari 0,43 persen menjadi 2,74 persen.
“Namun, sumber anggaran pendapatan terbesar tahun 2023 tetap dari dana desa sebesar 55 persen atau sekitar Rp68 triliun dan alokasi dana desa 29 persen atau sekitar Rp37 triliun,” kata Gus Halim.
Itulah mengapa, lanjut Gus Halim, pemerintah terus meningkatkan anggaran transfer ke daerah dan dana desa dari tahun ke tahun karena ini sangat vital dalam upaya meningkatkan jangkauan pembangunan ke seluruh desa.
Sebelum ada dana desa pada 2014, rata-rata anggaran pendapatan hanya Rp329 juta per desa. Lalu pada 2015, setelah ada dana desa menjadi Rp701 juta per desa. Bahkan tahun ini, rata-rata sudah Rp1,6 miliar per desa.
“Peningkatan dana desa pada akhirnya turut meningkatkan sumber pendapatan alokasi dana desa dari hanya Rp10 triliun pada 2014 menjadi Rp37 triliun pada 2023,” ucap Gus Halim dalam paparannya.
Pembagian Dana Desa
Kendati begitu, tidak semua desa mendapat persetujuan sebagai penerima dana desa 2023. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 201 Tahun 2022, ada 7 desa yang tidak dapat menerima dana desa sesuai rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tujuh desa tersebut yakni, Desa Renokenongo dan Desa Kedungbendo di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Alasannya, kata Gus Halim, kedua desa ini sudah tidak ada.
Ketiga, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten yang secara kultural belum bisa menerima dana desa.
Keempat Desa Perkebunan Alur Jambu, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Seluruh wilayah desa merupakan area perkebunan.
Selanjutnya, Desa Wonorejo, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan; Desa Batujaya, Kabupaten Aceh Barat, Aceh; dan Desa Misabugoid, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
“Ketiga desa ini tidak mendapatkan rekomendasi dari BPK sebagai penerima dana desa,” ujarnya.
Sehingga, total hanya 74.954 desa yang tercatat sebagai penerima dana desa 2023.
Pembagian dana desa, lanjut Gus Halim, dilakukan secara proporsional. Besaran yang diterima belum tentu sama antara satu desa dengan desa lainnya.
Contoh desa-desa di Pulau Sumatera, pagu minimal sebesar Rp522 juta, maksimal Rp3,8 miliar atau rata-rata Rp828 juta per desa. Lalu di Nusa Tenggara, minimal Rp589 juta dan maksimal Rp2,6 miliar atau rata-rata Rp938 jutaan.
“Begitupun di desa-desa di pulau lainnya. Rata-rata pagu dana desa terbanyak di Jawa dan Bali sebesar Rp1 miliar per desa. Ini karena warga desanya banyak dan jumlah warga miskinnya juga banyak,” tutur Gus Halim.
Saat ini, realisasi penyaluran dana sudah menjangkau 72.620 desa dengan total anggaran mencapai Rp30,9 triliun dari total pagu dana desa sebesar Rp68 triliun. Sementara dana desa khusus untuk bantuan langsung tunai sudah tersalur ke 2,7 juta keluarga penerima manfaat di 71.984 desa dengan total dana Rp3,8 triliun.
“Dana desa tersebut nantinya bisa digunakan untuk menunjang aktivitas ekonomi masyarakat, seperti pembangunan jalan desa, pembuatan jembatan, pasar desa, mendukung kegiatan BUMDesa, tambatan perahu, pembuatan embung, irigasi hingga penahan tanah,” tutur Gus Halim
Juga, bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, seperti pembuatan sarana olahraga, penyediaan air bersih, MCK, Polindes, PAUD, hingga Posyandu.
Bila melihat peruntukkan, menurut Gus Halim, seluruh pemerintah desa dan masyarakat desa semakin memahami arah kebijakan pembangunan desa. Sehingga mereka menggunakan dana desa untuk hal-hal yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Setidaknya, ada empat hal yang mendapat prioritas, yakni kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif, infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan, desa tanpa kemiskinan, dan pendidikan desa berkualitas.
Sukses Mengelola Dana Desa
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2018, seperti dilansir dari buku ‘Pengelolaan Dana Desa’ karya Prof. Dr. Sadu Wasistiono, pernah mengatakan ada empat kunci yang membuat desa sukses mengelola dana desa.
Pertama, transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana desa. Kedua, komitmen peran serta masyarakat. Ketiga, mengenai kepemimpinan kepala desa. Keempat, skala prioritas sehingga dana desa berhasil dimanfaatkan benar-benar untuk kebutuhan masyarakat desa.
Tanpa empat hal tersebut, dana desa yang diharapkan dapat lebih mengembangkan desa justru akan menjadi ladang para oknum perangkat desa berbuat curang.
Kasus korupsi yang menjerat ratusan kepala desa di seluruh Indonesia sejauh ini adalah bukti nyata mayoritas perangkat desa memang belum mampu menjalankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Baik dalam menyelenggarakan perencanaan, melaksanakan pembangunan penguatan kompetensi administratif, SDM, kepemimpinan, maupun pengelolaan anggaran.
Kondisi itu juga harus menjadi perhatian. Sejatinya, kesuksesan pembangunan di pedesaan memang tak melulu masalah dana, melainkan juga sumber daya manusia.