AS Kutuk RSF karena Pelanggaran HAM, Kekerasan Seksual dan Pembunuhan

JAKARTA - Amerika Serikat mengutuk pelanggaran hak asasi manusia, penyiksaan dan kekerasan mengerikan yang tengah terjadi di Sudan dan dilakukan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan milisi-milisi sekutunya.

Selain itu ada laporan kekerasan seksual dan pembunuhan karena etnis yang dilakukan RSF.

"Kekejian yang terjadi hari ini di Darfur Barat dan wilayah-wilayah lain itu mengingatkan kejadian mengerikan yang membuat AS pada 2004 menyimpulkan telah terjadi genosida di Darfur," kata Kementerian Luar Negeri AS dilansir ANTARA dari Anadolu, Jumat, 16 Juni.

"Kami secara khusus mengutuk pembunuhan Gubernur Darfur Barat Khamis Abbakar pada 14 Juni setelah dia menuduh RSF dan kekuatan-kekuatan lain  melakukan genosida."

Negara Afrika yang diamuk konflik itu kembali dilanda kekerasan selama berpekan-pekan antara tentara Sudan dengan milisi RSF dua bulan setelah konflik pecah.

Di wilayah Geneina saja sudah hampir 1.100 warga sipil tewas, kata kelompok-kelompok setempat.

PBB mengungkapkan sekitar 273 ribu orang mengungsi meninggalkan Darfur Barat.

Manakala kekejian terjadi di Darfur terutama disebabkan oleh RSF dan milisi-milisi yang bersekutu dengannya, maka pihak-pihak itu mesti bertanggung jawab atas kekejaman yang terjadi di sana, kata Kementerian Luar Negeri AS.

AS juga menuduh angkatan bersenjata Sudan gagal melindungi warga sipil dan menyulut konflik dengan mendorong mobilisasi suku-suku.

AS menyerukan kedua pihak agar mengadakan gencatan senjata di Darfru, mengendalikan tentara mereka, dan meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan atau kekejaman, selain memastikan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan bisa dikirim ke sana.

Dalam beberapa bulan terakhir muncul ketidaksepakatan antara kedua belah pihak mengenai integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata Sudah yang adalah syarat utama dalam perjanjian transisi Sudan bersama kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan fungsional  sejak Oktober 2021 ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat yang kemudian dikecam  sebagai "kudeta" oleh berbagai kekuatan politik.

Masa transisi yang dimulai Agustus 2021 setelah Presiden Omar al-Bashir digulingkan itu akan berakhir begitu pemilihan umum digelar awal 2024.