Figur Populer Tak Otomatis Mendongkrak Elektabilitas Partai Politik
JAKARTA – Partai politik membuka pintu bagi figur-figur populer yang ingin berkontestasi dalam Pemilu, baik sebagai anggota legislatif, kepala daerah, ataupun presiden. Sebab, diyakini popularitas figur akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.
Untuk pemilihan legislatif misalnya, banyak partai politik yang mendaftarkan bakal calonnya dari kalangan pesohor mulai dari pemain film, musisi, dan penyanyi. Sekiranya ada 65 pesohor yang siap nyaleg pada Pemilu 2024
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendaftarkan 15 nama pesohor antara lain Rano Karno, Rieke Diah Pitaloka, Kris Dayanti, Once Mekel, Andre Hehanusa, Marcel Siahaan, Denny Cagur, Harvey Maleiholo, dan Tamara Geraldine.
Partai Amanat Nasional mendaftarkan 10 nama seperti Eko Patrio, Pasha Ungu, Desy Ratnasari, Primus Yustisio, Uya Kuya, Varrel Bramasta, Ely Sugigi, dan lainnya.
Partai Nasdem mendaftarkan 8 nama mulai dari Reza Artamevia, Annisa Bahar, Nafa Urbach, Didi Riyadi, hingga Ramzi.
Begitupun partai-partai lainnya seperti Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Total sekiranya ada 65 pesohor yang siap nyaleg pada Pemilu 2024.
Untuk pemilihan kepala daerah, tengok yang dilakukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI mengambil momentum dengan menjadi partai pertama yang mendukung Kaesang Pangarep maju dalam pemilihan wali kota Depok.
Sejumlah kalangan meyakini, PSI jelas ingin mencari efek ekor jas dari popularitas putra bungsu Presiden Jokowi tersebut demi menaikkan elektabilitas partai dan menggaet pemilih usia muda yang jumlahnya mendominasi daftar pemilih di Kota Depok.
Untuk pemilihan presiden, tengok pula langkah yang dilakukan Partai Nasdem. Ketika partai-partai lain masih sibuk mencari koalisi, Nasdem pada Oktober 2022 justru menjadi partai pertama yang secara resmi mendeklarasikan calon presidennya.
Pilihan jatuh ke Anies Baswedan yang sepanjang tahun 2022 memang selalu masuk posisi tiga teratas sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi hampir di setiap lembaga survei.
Pasca deklarasi tersebut, elektabilitas Partai Nasdem terus meningkat hingga mencapai 6,4 persen menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari-Maret 2023. Bahkan, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, ini merupakan capaian elektabilitas tertinggi Nasdem dibanding tingkat elektoralnya dalam sejarah persiapan Nasdem pada dua Pemilu sebelumnya.
Baca juga:
“Jadi kita bisa sedikit mengambil kesimpulan, Nasdem sudah mendapatkan insentif positif atas deklarasi Anies sebagai capresnya,” kata Burhanuddin pada Maret lalu.
Hasil survei Litbang Kompas sebelumnya juga menunjukkan hal serupa. Namun, insentif positif tersebut tak dirasakan oleh dua partai pengusung Anies lainnya, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Alih-alih meningkat, elektabilitas kedua partai ini justru menurun. Partai Demokrat dari 14 persen menjadi 8,7 persen dan PKS dari 6,3 persen menjadi 4,8 persen menurut survei Litbang Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023.
Bukan Hal Mutlak
Kondisi itu membuktikan efek ekor jas dari popularitas seorang figur tidak menjadi hal mutlak dalam peningkatan elektabilitas. Banyak faktor penentu lainnya. Partai Demokrat sebenarnya juga sudah membuktikan pada Pemilu sebelumnya.
Suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009 meningkat drastis dari 7,45 persen ke 20,4 persen atau 21,7 juta suara seiring dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode pertama.
Namun pada Pemilu 2014, seketika anjlok hanya mendapat 12,7 juta suara. Ini diyakini bukan hanya karena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap SBY, melainkan juga karena rekam jejak kader Partai Demokrat yang saat itu banyak terjerat kasus korupsi.
Lalu, bila merujuk hasil Pemilu 2019, apakah PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan Partai Hanura mendapat suara dalam jumlah signifikan karena mengusulkan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai pasangan Capres dan Cawapres?
Guru besar perbandingan politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti dalam opininya di Harian Kompas pada 12 Juli 2019 menuliskan dari hasil pemilu anggota DPR tahun 2019 yang ditetapkan KPU pada 21 Mei 2019 (sebelum putusan MK tentang perselisihan hasil pemilu umum/PHPU), ternyata PDI-P hanya mengalami kenaikan yang sangat kecil, 0,38 persen dibandingkan dengan hasil pemilu DPR tahun 2014.
Partai pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah Nasdem, yaitu 2,33 persen. Meski begitu sukar dipastikan apakah peningkatan jumlah suara Nasdem terjadi semata-mata karena mengusulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Apalagi bila melihat jumlah suara yang diperoleh 10 partai politik pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf pada pemilu anggota DPR yang mencapai 62,01 persen. Sementara, jumlah suara yang diperoleh pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres mencapai 55,50 persen. Artinya, terdapat 6,51 persen dari pemilih 10 partai pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf yang memilih pasangan Prabowo-Sandi.
“Singkat kata, ekor jas ternyata tidak berpengaruh secara signifikan,” kata Ramlan.
Mungkin hanya partai yang bisa menunjukkan komitmen terkuat yang akan memperoleh efek ekor jas. Suara Nasdem meningkat bisa jadi karena Nasdem lah yang menjadi partai pertama yang menyatakan dukungannya kepada Jokowi sebagai calon presiden pada Pemilu 2019. Belum lagi dengan dukungan pemberitaan positif untuk Jokowi dari media yang dimiliki oleh Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.
Seperti yang dituliskan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam opininya, secara teoritis sulit memperoleh efek ekor jas bila hanya menjadi pendukung koalisi, terutama partai-partai kecil. Mereka akan memperolah manfaat efek ekor jas bila memiliki peran sebagai sponsor sebagai pengusul.
“Efek ekor jas akan lebih menguntungkan partai yang dianggap memiliki hubungan paling kuat. Ini biasanya berkaitan dengan dua hal: ideologi dan konsistensi strategi,” kata Djayadi.