Berhentilah Menyepelekan Masalah Komunikasi dalam Pernikahan
JAKARTA - Melebur dua orang dari latarbelakang yang berbeda menjadi satu ikatan pernikahan memang bukan perkara mudah. Untuk bisa melalui proses itu, lagi-lagi kita menghadapi permasalahan klasik yang kerap disebut banyak orang: komunikasi. Salah satu faktor penting namun kerap disepelekan adalah soal kesepakatan pranikah yang jarang dikomunikasikan sejak awal.
Akhir 2020 lalu, Menteri Agama (Menag) RI yang masih dijabat Fachrul Razi mengatakan kasus perceraian meningkat selama pandemi COVID-19. Untuk itu ia menekankan agar Kantor Urusan Agama (KUA) melakukan pembinaan pernikahan.
Menurut Direktorat Jenderal Badan Pengdilan Mahkamah Agung RI Aco Nur dikutip dari Detik, meningkatnya perceraian selama pandemi salah satunya terjadi di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat, Kota Semarang dan Surabaya.
Kata Aco, pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia tercatat sebanyak 20 ribu kasus. Namun pada Juli 2020 jumlahnya meningkat menjadi 57 ribu kasus.
Banyak pihak menyebut, penyebab tingginya angka perceraian kala pandemi karena faktor ekonomi. Aco Nur juga bilang perceraian karena banyak orang yang kena PHK sehingga membuat ibu-ibu tidak mendapat jaminan dari suaminya.
Meski tak merinci angkanya, alasan itu masuk akal. Sebab pandemi memang memporakporandakan perekonomian bukan cuma Indonesia, melainkan dunia. Namun bagaimana dengan kondisi normal? Apakah perceraian disebabkan melulu karena faktor ekonomi? Jawabannya tidak.
Pada 2018 tercatat penyebab terbesar perceraian paling banyak adalah karena terjadinya pertengkaran terus menerus. Tercatat, perceraian akibat perselisihan ada sebanyak 183.085 kasus. Sementara penyebab pisah ranjang terbanyak kedua karena faktor ekonomi sebanyak 110.909 kasus.
Masalah komunikasi
Kami mewawancarai Mahar, pegawai swasta yang mengalami perceraian pada 2018. Ia mengaku, penyebab terjadinya perceraian adalah karena adanya adanya faktor ketidakterbukaan. Ada masalah komunikasi dalam hubungannya.
Mahar menjadi salah satu orang yang tak terlalu memikirkan perkara komunikasi yang baik dan terbuka. Ia menjadi salah seorang yang menganut prinsip: bagaimana nanti saja alias mengalir.
Di awal iya cukup membuat kesepakatan soal mau tinggal di mana, pisah dari orang tua atau tidak, dan persoalan besar lain. Namun ada beberapa hal yang luput dari pasangan yang menikah pada 2017 ini.
Pertama, Mahar tak membicarakan soal pembagian tugas seperti bagaimana nanti mereka akan merawat anaknya. Dan kedua yakni soal bagaimana nanti mereka bersosialisasi dengan kawan-kawan sebelumnya.
Untuk persoalan pertama, mereka masih bisa mengatasinya. Pada persoalan kedualah, konflik besar terjadi.
Pertengkaran besar terjadi ketika Mahar mengetahui mantan istrinya, kerap bermain dengan teman-temannya. Yang membuatnya kesal adalah ia tak pernah dikabari ketika istrinya pergi.
Mahar sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan hal itu, asal masih dalam batas wajarnya. Namun menurut versi Mahar, sang mantan tak terbuka dengan kegiatannya itu. Padahal jika berbicara baik-baik mahar akan senang hati mengizinkan dengan taraf wajar.
"Karena dia susah dikasih tau. Diajak ngobrol juga tidak terbuka. Saya merasa tidak didengar," kata Mahar.
Mahar mengakui bahwa sebelumnya, dirinya juga kurang membangun budaya komunikasi dalam hubungannya. Ia acap kali menganggap persoalan itu sepele.
Namun, kini Mahar merasakan sendiri ternyata dampaknya sebesar itu. "Persoalan terbesarnya adalah komunikasi enggak terbuka dan tidak terus terang.
Mahar adalah satu dari 183.085 kasus keluarga yang bercerai karena alasan terjadi pertengkaran yang berlarut-larut pada 2018. Hal itu menjadi bukti komunikasi merupakan salah satu faktor penting yang kerap dianggap sepele dalam membangun sebuah hubungan harmonis.
Pertanyaannya, mengapa banyak pasangan keluarga yang mengalami masalah komunikasi, padahal hal itu sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari?
Akar masalah perceraian
Psikolog keluarga dari Universitas Indonesia, Rosmini, menjelaskan alasan mengapa banyak keluarga yang mengalami masalah komunikasi dalam hubungannya. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh latarbelakang orang-orang yang jelas berbeda. Dan mereka tidak siap atau kesulitan untuk menyatukan keduanya.
"Dua orang menikah dari latarbelakang berbeda, dari pendidikan, sosial ekonomi, budaya. Jadi banyak sekali manusia dibentuk oleh latarbelakangnya, tapi bagaimana kita bisa menyatukan," kata Rosmini kepada VOI.
Menurut Rosmini, manusia itu pada dasarnya cenderung memiliki sifat mau menang sendiri. Dan banyak orang kesulitan untuk mengelola perasaan tersebut.
"Manusia itu cendeurng saya maunya gini, biasanya saya begini, itu yang menjadi tidak oke. Harusnya kan di tengah-tengah. Menurut saya itu mengapa penting mengtahui latar belakang," kata Rosmini.
Untuk itulah, Rosmini bilang proses pendekatan sebelum menikah itu perlu waktu yang cukup panjang. "Untuk itulah, kita perlu waktu yang lama untuk mengetahui pasangan kita aslinya seperti apa."
Pentingnya komunikasi
Dan menurut Rosmini, faktor penting untuk melalui proses itu adalah komunikasi yang asertif. Sebaliknya, kalau sepasang kekasih lebih banyak merasa sungkan dan tak bisa mengutarakan persaanya dengan jelas, itu adalah malapetaka.
"Berkomunikasilah secara asertif, menyatakan perasaan, pikiran, dan keinginannya secara jelas. Tapi tidak dengan cara agresif, menyatakan perasaan pikiran dan keinginannya secara kasar," ujar Rosmini.
Baca juga:
Rosmini bilang, tak mudah memang membangun komunikasi dua arah yang baik. Kedua sejoli ini harus bisa menciptakan lingkungan yang nyaman agar proses komunikasi yang baik bisa terwujud.
"Belajar untuk bicara baik, komunikasi baik, dua arah, itu proses. Itu perlu latihan, dan perlu lingkungan yang memberi kesempatan untuk latihan," pungkasnya.