Bagikan:

Kita telah menggugat angka 19 sebagai usia minimal pernikahan yang ditetapkan negara lewat artikel "Berbagai Alasan Menolak Angka 19 sebagai Usia Minimal Perkawinan". Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Pernikahan Hari Ini", sekarang kita cari jawaban untuk menghadapi desakan-desakan menikah dari lingkungan sekitar.

Tiga hari jelang Natal. Sembilan hari jelang tahun baru. Ada yang berencana menghabiskan  dua hari besar itu dengan keluarga besar? Sudah melakukan persiapan apa andai pertanyaan klasik "kapan nikah?" ditanyakan kepada Anda? Lewat artikel ini, kami berikan berbagai jawaban yang bisa Anda gunakan untuk menjawab pertanyaan itu.

Sebelumnya, ada sebuah tips yang perlu ditanamkan dalam kepala Anda, yaitu memahami bahwa amat penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan kepala dingin. Untuk menjaga kepala tetap dingin, maka penting bagi Anda melihat pertanyaan itu sebagai bentuk perhatian mereka kepada Anda. Tak ada yang salah dengan mengambil sisi positif, toh?

Beberapa waktu lalu kami menemukan artikel menarik di laman LinkedIn. Dalam tulisan itu, LinkedIn memberi saran, cara terbaik menjawab pertanyaan itu adalah dengan menggambarkan bagaimana dirimu kini tengah berfokus memperbaiki diri sendiri. Tekankan juga bahwa perbaikan diri adalah modal penting untuk mendapatkan jodoh yang memiliki kualitas diri yang sama baiknya denganmu.

"Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah tersenyum dan menggunakan kesempatan ini untuk menekankan bagaimana Anda dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk perbaikan diri. Gunakan kiat-kiat ini dengan versi kamu sendiri," tulis LinkedIn, dikutip dari era.id, Minggu, 22 Desember.

"Ingat, bahwa setiap orang berada pada tahap yang berbeda dalam karier mereka, jadi jangan membandingkan diri Anda dengan orang lain ... Mungkin ini adalah tahun di mana keluarga dan kerabat kamu mulai lebih memahami passion kamu, pilihan karier kamu, dan ide kesuksesan kamu."

Pentingnya otorisasi

Kami menghubungi Psikolog Universitas Indonesia, Rose Mini untuk mendalami persoalan ini. Menurut Rose Mini, amat penting bagi setiap orang untuk mengidentifikasi segala kesiapan di dalam dirinya. Soal karier, kesiapan mental, hingga hasrat pribadi, misalnya. Hasil identifikasi itu kemudian yang harus dijadikan landasan dalam mempertimbangkan keputusan menikah. Bukan desakan lingkungan.

"Kalau dia terlalu muda, di mana tugas perkembangannya masih mencari identitas diri, mau seperti apa saya, gimana mau berkarier, masih sibuk lagi, ditambah peran lagi nanti setelah menikah bikin dia pusing. Sampai dia rasanya saya enggak bisa deh beradaptasi," tutur Rose Mini, dihubungi VOI, beberapa waktu lalu.

Melengkapi. Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menyoroti sudut pandang budaya yang berlaku tentang pernikahan di Indonesia. Menurut Trubus, otorisasi pribadi seseorang untuk menentukan kehidupan pernikahan amat terkekang di Indonesia. Dengan kata lain, amat sulit bagi seseorang bersikap mandiri untuk kehidupan pernikahannya sendiri. Padahal, tak ada yang lebih tahu kesiapan seseorang maju ke pernikahan selain orang itu sendiri.

Seperti pandangan Rose Mini. Trubus melihat masih banyak orang yang gagal mengidentifikasi kesiapannya melangkah ke pernikahan. Trubus jelas melihat kondisi budaya macam ini turut berperan dalam tingginya angka perceraian. Kegagalan seseorang mengidentifikasi kematangan karier dan ekonomi, misalnya.

Suka tak suka, fakta menunjukkan kegagalan pernikahan paling banyak terjadi karena faktor ekonomi. Bukan berarti hanya orang-orang berduit yang boleh menikah. Namun, merencanakan pernikahan lewat persiapan-persiapan jelas harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pada diri sendiri dan pernikahan yang akan dijalani.

"Ada survei, saya pernah ikut penelitian, tapi 3-4 tahun lalu. (Hasilnya) Rata-rata faktor (penyebab perceraian) ekonomi. (Ekonomi) Menempati posisi di atas 60-70 persen," kata Trubus dihubungi VOI, Jumat, 20 Desember.

Teoritis, memang. Implementasi dalam kehidupan nyata pastinya amat sulit. Karena itulah hajat ini membutuhkan andil pemerintah. Bukan mencampuri ranah pribadi pasangan-pasangan. Tapi, negara harus membangun sistem yang saling berkaitan berupa penyediaan lapangan kerja serta berbagai program penyejahteraan masyarakat untuk membangun calon-calon pengantin yang mapan, secara ekonomi setidaknya.

"Karena kan perceraian itu paling banyak faktor ekonomi. Jadi, yang diberikan pemberdayaan ekonomi. Kedua, itu misalnya berupa pemberian lapangan kerja. Jadi, kebanyakan yang kalangan kelas bawah ini kan bercerai karena kondisi suaminya menganggur atau penghasilannya kurang. Sehingga memang lebih ke arah kesejahteraan," kata Trubus.