Ada Apa dengan KPK?
JAKARTA – Abraham Samad mempertanyakan motif Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengajukan uji materi terhadap Pasal 29 huruf (e) UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai persyaratan usia minimal pimpinan KPK 50 tahun dan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 jo UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai masa periode pimpinan KPK.
Sebab, menurut dia, sarat agenda tersembunyi, terlebih dilakukan jelang Pemilu 2024. Uji materi itu pun sama sekali tidak terkait dengan penguatan kelembagaan dalam memberantas korupsi dan cenderung politis, hanya mengutamakan kepentingan pribadi pimpinan KPK.
Kalau memang berkaitan dengan kelembagaan, semestinya bukan pasal itu yang dilakukan uji materi. Ada pasal yang lebih substansial, seperti pasal yang mengatur tentang dewan pengawas, mulai dari Pasal 37A-37G atau Pasal 40 tentang kewenangan penghentian penyidikan.
Sehingga wajar kalau publik bertanya-tanya, mengapa jabatan pimpinan KPK harus diperpanjang. Justru, menurut Samad, desain masa jabatan komisioner KPK selama 4 tahun itulah yang membedakan KPK dengan lembaga eksekutif lainnya secara filosofis dan sosiologis. Penegasan bahwa KPK merupakan lembaga yang bersifat independen.
Di sisi lain, perpanjangan jabatan juga berpotensi menghasilkan tindakan korup karena telah merawat nafsu kekuasaan. Jangan sampai dugaan digunakannya KPK sebagai alat politik semakin tervirifikasi.
“Seandainya saja, pimpinan KPK kali ini mempunyai prestasi luar biasa, maka mungkin kita masih bisa memahami. Jadi dapat kita simpulkan, tidak ada hal-hal yang mendukung dan melegitimasi bahwa jabatan periode pimpinan KPK kali ini harus diperpanjang,” kata Ketua KPK periode 2011-2015 tersebut seperti ditukil dari kanal YouTubenya pada 26 Mei 2023.
Namun, menurut Ghufron, masa jabatan pimpinan KPK empat tahun akan menyulitkan sinkronisasi dengan evaluasi hasil kinerja pemberantasan korupsi. Ini merujuk terhadap ketentuan periodisasi perencanaan pembangunan nasional yang berlaku.
"Cita hukum, sebagaimana dalam Pasal 7 UUD 1945, masa pemerintahan di Indonesia adalah lima tahunan, sehingga semestinya seluruh periodisasi masa pemerintahan adalah lima tahun," kata Ghufron.
Dikabulkan Mahkamah Konstitusi
Pimpinan KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang pun berpendapat sama. Alih-alih melakukan penguatan kelembagaan, pimpinan KPK justru memperlihatkan semangat haus kekuasaan dengan memperpanjang jabatan.
“Mirisnya lagi, itu dikabulkan oleh MK,” kata Saut kepada VOI pada 26 Mei 2023.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan bertentangan dengan UUD 1945.
“Tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,” ucap Ketua MK, Anwar Usman dalam keterangan resminya di laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 25 Mei 2023.
MK juga menyatakan Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi, pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan bertentangan dengan UUD 1945.
“Tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan,” lanjut Anwar.
Ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun, menurut Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance.
Melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 280 ayat (1) UUD 1945.
“Oleh karena itu, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 tahun,” kata Hakim Guntur seperti tertulis di laman Mahkamah Konstitusi pada 26 Mei 2023.
Reformulasi masa jabatan tersebut berdampak pula terhadap masa jabatan dewan pengawas, sehingga masa jabatan Dewan pengawas yang semula selama 4 tahun juga disamakan menjadi 5 tahun.
Putusan tersebut, menurut Saut, kian menunjukkan KPK saat ini sudah menjadi lembaga politik dan bagian dari pemerintah.
“Kalau penguatan kelembagaan, bila perlu cuma 3 tahun. Seperti di Malaysia sekarang. Masa jabatan mereka diperpanjang oleh pemerintah karena performanya bagus. Ini baru keren. Nah, di kita, enggak ada kinerja, indeks korupsi jatuh, malah diperpanjang, ini kan jadi lucu. Agak aneh. Indikasi politisnya kuat sekali. Sejak ada UU 19 tahun 2019, aturan KPK sudah semakin ngawur kemana-mana,” kata Saut kepada VOI pada 26 Mei 2023.
Catatan ICW
Ketika UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbit, sejumlah kalangan mulai meragukan independensi KPK. Sebab, ada sejumlah pasal yang justru melemahkan KPK dalam upaya memberantas korupsi.
Seperti Pasal 1 ayat (3), KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
Aturan ini, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Pada putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya.
Lalu Pasal 21 ayat (1) huruf a yang berbunyi, KPK terdiri atas Dewan pengawas yang berjumlah 5 orang. Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a seperti yang tertulis di Pasal 37 A.
Baca juga:
Menurut ICW, konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan. Jadi, secara konsep teori logika DPR dan pemerintah keliru.
“KPK sendiri selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman,” tulis ICW seperti dilansir di laman resminya.
Belum lagi kewenangan dewan pengawas yang terlampau besar, meliputi izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif.
Dalam regulasi KUHAP hanya institusi pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan dewan pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum.