Menyembah 'Jempol Kejepit' Si Jagur demi Mendapat Keturunan

JAKARTA - Magisnya kawasan wisata Kota Tua tak hanya dibuktikan dengan kehadiran Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni dan Keramik, serta Museum Wayang saja. Tepat di tengah halaman ketiga museum tersebut, di Taman Fatahillah, ada pemandangan menarik berupa meriam bersejarah. Meriam Si Jagur, namanya.

Meriam Portugis itu memiliki bentuk menarik. Bagian belakang meriam berbentuk kepalan tangan "jempol kejepit". Bentuk itu menggambarkan dua anggapan. Pertama, sebagai simbol senggama. Lainnya memaknai sebagai simbol mistik berupa kesuburan yang diyakini masyarakat dari zaman Hindu.

Adolf Hauken, dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta menjelaskan makna kepalan tangan yang biasa juga disebut mano in fica. Dijelaskan, mano in fica yang bermakna sebagai simbol senggama itu membuat banyak orang menjadikan Si Jagur sebagai hal keramat.

"Dahulu, wanita-wanita menaburkan bunga-bunga di muka 'jimat' ini pada hari Kamis. Setelahnya, mereka duduk di atas meriam itu,'" tertulis.

Dikisahkan, Si Jagur yang dulu berada di Kota Intan --sebuah daerah dekat Kasteel Batavia-- dianggap sakti. Bahkan, orang-orang datang untuk meminta jodoh, kekayaan, hingga yang paling banyak adalah keturunan. Semuanya meyakini Si Jagur mampu mengabulkan permintaan-permintaan tersebut.

Meriam Si Jagur (Commons Wikimedia)

Popularitas

Saking terkenalnya, pada awal abad 20, semua orang mengenal meriam dengan berat 3,5 ton, panjang 3,85 meter serta diameter laras 25 sentimeter ini. H.C.C. Clockener Brousson, seorang serdadu Belanda yang pernah berdinas di di Batavia, menuliskan kesan itu dalam Batavia Awal Abad 20. Kunjungan Brousson kala itu diiringi oleh seorang pemandu bernama Abdullah.

Kunjungan itu menyadarkan Brousson pada kemasyhuran dan betapa keramatnya meriam besar alias grote kanon itu. Abdullah menjelaskan kondisi itu dengan bahasa Belanda beraksen khas.

“Di sini banyak orang pribumi berdoa dan memberikan sesaji bagi para arwah.” kata Abdullah sembari menunjuk tumpukan nasi, buah-buahan dan bunga yang berada di bawah bayang sinar matahari sekitar meriam.

Abdullah kemudian melanjutkan, kalangan yang percaya meriam dapat memberikan kesuburan tak hanya datang dari kaum pribumi saja. Kaum Tionghoa, hingga Indo pun dibuat percaya hingga mendatangi lokasi meriam keramat sambil memberikan sesaji sebagai syarat utama pelancar ritual.

Setali dengan itu, orang-orang yang percaya turut membekali diri dengan sugesti positif, jika meriam itu berkenan, maka keinginan memiliki anak akan tercapai. Itulah sugesti yang terus berputar di kepala para pengunjung. Entah karena meriam tersebut sakti atau cuma kebetulan. Yang jelas, berita terkait meriam keramat dapat membawa kesuburan sudah begitu tertanam di pikiran serta berkembang dari mulut ke mulut.

Kondisi ini membuat banyak orang yang tak percaya kepada adanya kekuatan apa-apa di meriam menjadi tak habis pikir. Bahkan pemerintah saat itu menganggap kondisi tersebut sudah dalam tahap menggangu, karena telah menjadikan peziarah orang yang syirik.

Untuk itu meriam yang sebelumnya dibiarkan di pinggir jalan langsung diangkut untuk dipindahkan ke Museum Nasional dan menjadi salah satu koleksi di sana, menemani koleksi lainnya seperti Arca, patung-patung, topeng-topeng, uang dulu hingga keramik. Namun, hal itu tak menghentikan orang-orang. Kunjungan keramat pun berpindah ke museum tempat Si Jagur bergeming.

Salah satu kejadian menarik terkait momen orang meminta keturunan di Museum Nasional dituturkan oleh Wahyono Martowikrido yang telah menjadi pegawai dari Museum Nasional sejak 1964 – 1998. Ia bercerita melalui buku Cerita dari Gedung Arca yang isinya terkait serba-serbi pengunjung museum.

Ia bercerita, "Pada suatu hari datang laki-laki tua berpeci, datang jauh dari Cirebon untuk keperluan semacam itu. Dia ingin sekali mendapat cucu. Anaknya perempuan dua orang. Yang satu sudah kawin tapi tak punya anak, meski sudah sekian lama. Maka datanglah dia ke kehadapan meriam tua itu, berdoa dan memberi sedekah.”

Setelahnya, pulanglah bapak itu. Setahun kemudian, beliau datang lagi. Tapi, kali ini tak disertai rapalan doa untuk meminta keturunan, melainkan hanya meluapkan emosi sambil marah-marah. Saat salah seorang petugas melihat ia sedang menyepak meriam seberat 4 ton itu, petugas tersebut merasa keheranan dan bertanya: Lho, bapak kan untuk meminta keturunan, meminta cucu setahun lalu. Kenapa sekarang marah-marah?

Bapak tersebut kemudian menjawab, "Iya, tapi si Jagur ini kurang ajar. Saya sih dapat cucu juga, cuma cucu saya lahir dari anak saya yang belum kawin!" Jawaban itu disambut tawa para pegawai museum. Salah satunya berseloroh: Ternyata, Si Jagur bisa salah alamat.

Akhir kesaktian Si Jagur

Begitulah fenomena si Jagur sewaktu berada di Museum Nasional. Satu sisi, pegawai-pegawai museum bisa dapat untung karena dibawakan sumbangan dan sesaji oleh pengunjung. Sisi lainnya cukup merepotkan. Perkaranya, pernah ada seseorang yang datang dari luar daerah secara khusus mengunjungi Si Jagur dengan membawa sesaji berupa ayam hidup.

Rencana pemindahan pun kembali digulirkan. Abdul Chaer, dalam buku Foklor Betawi menulis momen pemindahan Si Jagur ke halaman belakang Museum Nasional. “Karena itu (sering memicu syirik), meriam itu dipindahtempatkan di halaman belakang gedung bekas Balai Kota (Stad Huis) zaman dulu di Taman Fatahillah, Jakarta Barat yang dijadikan sebagai Museum Jakarta. Meriam itu kini kabarnya sudah dipindahkan lagi ke halaman depan dan bisa dilihat oleh umum,“ tertulis.

Berkat pemindahan ke halaman depan, yakni Taman Fatahillah, strategi mengurangi peziarah yang percaya meriam itu keramat membuahkan hasil. Mereka yang ingin menziarahi sudah tak tampak lagi, kecuali wisatawan lokal dan mancanegara yang tak tahu lagi kisah panjangnya, yang historis maupun mistis.

Satu-satunya yang wisatawan bisa pahami ialah informasi tepat di samping Meriam yang bertuliskan rangkuman cerita dari beberapa literatur yang tak memuat bagaimana dahulunya meriam ini dipuja-puja sebagai meriam karamat. Isinya kurang lebih begini: Ex me ipsa renata sum yang berarti saya lahir kembali dari diri saya. Bikinan Portugis di Makau, dekat daratan Tiongkok yang mendaulat Manuel Tavares Baccarro, ahli cor meriam tersohor yang pernah tinggal di Goa –India—sebagai pembuat meriam.

Meriam yang pernah menjadi bagian dari Benteng Santo Jago de Barra, lalu dipindahkan ke Benteng Portugis di Malaka. Setelah Malaka disikat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1641, inilah pintu awal dikenalnya meriam karena diangkut VOC ke Kota Tua Batavia. Hingga hari ini, Si Jagur dengan kokoh berada di taman Fatahillah. Meski tak lagi di keramatkan, segi historis meriam ini patut dikagumi. Kagum akan bentuknya, kagum akan beratnya, serta kagum akan kisahnya.