Kekurangan Uang, Pemerintah Daerah China Gagal Bayar Pegawai Tepat Waktu: Akibat Kebijakan Ketat COVID-19?

JAKARTA - Perekonomian pemerintah daerah di China pasca-COVID-19 yang menyebabkan pembatasan ketat selama tiga tahun belum pulih sepenuhnya, menyebabkan mereka kekurangan uang.

Seluruh pemerintah provinsi dan lokal di Negeri Tirai Bambu yang kekurangan uang, melelang sekolah umum, mengurangi kontrak dengan kontraktor swasta hingga memangkas pensiun.

Terlepas dari pertumbuhan ekonomi China yang lebih baik dari perkiraan sebesar 4 persen pada kuartal pertama tahun 2023, banyak otoritas daerah terperosok dalam utang, menimbulkan tantangan bagi pemulihan negara dari COVID-19 dan hampir tiga tahun pembatasan pandemi yang sulit.

Bulan lalu, Guizhou, salah satu provinsi termiskin di China yang terletak di pegunungan barat daya negara itu, mengajukan permohonan bail-out ke Beijing untuk menghindari gagal bayar utangnya, dikutip dari Al Jazeera 12 Mei.

Pusat Penelitian Pembangunan, sebuah pusat penelitian yang berafiliasi dengan pemerintah provinsi mengatakan, tingkat utang Guizhou telah menjadi "masalah penting dan mendesak" dan menjadi "sangat sulit" untuk dilunasi.

Pemerintah Guizhou tidak menanggapi permintaan komentar dari Al Jazeera. Guizhou tidak sendirian dalam posisi merah.

Pada tahun 2022, masing-masing dari 31 provinsi dan kota di China, kecuali Shanghai, melaporkan defisit fiskal, menurut Biro Statistik Nasional.

Pengeluaran berlebihan untuk kebijakan terkait "nol-COVID" dan penurunan pasar real estat, telah berkontribusi secara signifikan terhadap kesengsaraan keuangan pemerintah daerah, menurut analis.

"Pemerintah mengandalkan pertumbuhan PDB yang cepat dan melonjaknya harga tanah untuk melunasi utangnya," jelas ekonom dan pakar utang pemerintah daerah China yang berbasis di Shanghai Cheng Juelu mengatakan kepada Al Jazeera.

"Namun, pandemi dan situasi pasar real estat telah mengubah asumsi tersebut," tandasnya.

Strategi "nol-COVID" China, yang memprioritaskan pemberantasan kasus virus corona dengan biaya berapa pun, sangat membebani keuangan pemerintah daerah.

Banyak kota di China masih merasakan biaya penguncian, pengujian PCR massal, dan karantina terpusat, yang membutuhkan sumber daya yang besar dalam hal uang dan tenaga selain menyebabkan gangguan ekonomi yang parah.

Guangdong, Zhejiang, dan Beijing, tiga kekuatan ekonomi terbesar di China, menghabiskan lebih dari 140 miliar yuan (20 miliar dolar AS) secara kolektif tahun lalu untuk pengendalian pandemi.

Ilustrasi COVID-19 di Beijing, China. (Wikimedia Commnons/N509FZ)

Di atas pengeluaran ini, pundi-pundi pemerintah kehilangan pendapatan dari bisnis yang terganggu oleh penguncian dan pembatasan pandemi lainnya.

Hu Mingdan, seorang pegawai negeri di Tiongkok timur, membanggakan diri karena mendapatkan pekerjaan yang dikenal sebagai 'mangkuk nasi besi', jenis pekerjaan di mana Anda tidak perlu khawatir akan di-PHK atau mengejar pembayaran.

Hingga tibalah akhir tahun lalu, untuk pertama kalinya selama 10 tahun ia bekerja sebagai akuntan di pemerintah daerah, gaji Hu tertunda selama tiga bulan.

"Banyak gaji rekan saya tertunda, dan itu sulit karena kami memiliki keluarga yang harus diberi makan," terang Hu yang tinggal dan bekerja di Nanchang, Provinsi Jiangxi.

"Ini tidak terbayangkan sebelumnya," lirihnya.

Secara keseluruhan, 22 dari 31 provinsi di China mengalami penurunan pendapatan pada tahun 2022, menurut rencana anggaran untuk tahun 2023.

Menghadapi tekanan keuangan, banyak pemerintah daerah mengurangi pengeluaran, dalam beberapa kasus memotong pensiun, menunda gaji dan mengurangi pekerjaan kontrak.

Pada Bulan Februari, pensiunan di Wuhan dan Dalian turun ke jalan untuk memprotes pemotongan tunjangan bulanan yang ditawarkan sebagai bagian dari sistem asuransi kesehatan China.

Sementara itu, Beijing telah memperhatikan dan mengumumkan langkah-langkah yang ditujukan untuk mendukung pemerintah dan bisnis lokal. Pada Bulan Maret, mantan Perdana Menteri Li Keqiang mengumumkan China akan meningkatkan target defisit anggarannya menjadi 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB), naik dari 3,2 persen pada tahun 2022, untuk memberikan stimulus fiskal tambahan bagi perekonomian.

Dalam pertemuannya tentang ekonomi pada 28 April, Politbiro, badan pengambil keputusan utama China, menyerukan penguatan pengelolaan utang pemerintah daerah dan secara ketat, mengendalikan peningkatan utang tersembunyi, seperti mengutip Asia Nikkei.

Terlepas dari upaya ini, beberapa analis tetap skeptis terhadap kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola masalah utang mereka dan mendukung pemulihan ekonomi pasca-COVID.

"Kemampuan pemerintah China untuk mengendalikan situasi masih diragukan,” sebut Cheng.

"Masalah utang telah berkembang selama bertahun-tahun, dan sementara tindakan pemerintah mungkin memberikan bantuan sementara, mereka tidak mengatasi akar penyebab masalah," tandasnya.