Pejabat Lampung Tak Perlu Tipis Kuping, Meskipun Kritikan Bima Yudho Kurang Sopan
JAKARTA – Kritik Bima Yudho Saputro mengenai permasalahan yang terjadi di Provinsi Lampung berujung polemik. Bahkan, Bima kemungkinan berurusan dengan polisi usai dilaporkan oleh Gindha Ansori Wayka ke Polda Lampung terkait pelanggaran UU ITE. Bima diduga telah menyebarkan informasi bohong.
Gindha adalah seorang advokat. Dia diketahui juga menjabat sebagai Ketua Koordinator Presidium Komite Pemantauan Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) sekaligus kuasa hukum Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi.
Bima dalam kritiknya membahas empat alasan yang membuat Lampung belum juga menjadi kota yang maju hingga saat ini. Pertama infrastruktur yang terbatas, khususnya di sektor transportasi, komunikasi, dan energi.
“Banyak banget di Lampung tuh proyek-proyek pemerintah yang mangkrak. Contohnya Kota Baru, zaman dari gue SD sampai sekarang gue enggak pernah dengar kabarnya lagi. Aliran dana dari pemerintah pusat itu ratusan miliar ya besti dan gue enggak tahu sekarang sudah jadi tempat jin buang anak kali,” ucap Bima Yudho dalam video yang beredar di TikTok.
“Dan juga jalan-jalan di Lampung ya, 1 km bagus, 1 km rusak terus jalan ditempel-tempel doang. Ini apa sih? Ini pemerintah main ular tangga atau apa?” lanjutnya.
Kedua, sistem pendidikan. Ada banyak kecurangan yang terjadi dalam proses penerimaan pelajar dan mahasiswa di Lampung.
“Lampung banyak orang pintar, menteri-menteri aja banyak dari Lampung seperti Erick Thohir, Sri Mulyani. Cuma proses penyaringan peserta didik yang ada di Lampung sendiri itu banyak banget kecurangannya. Bahkan yang berkontribusi orang-orang yang bekerja di sektor pendidikan, kaya dosen nitipin anaknya, rektor nitipin kemenakannya, ini apa?” katanya.
Ketiga, tata kelola yang lemah. Masalah ini telah menciptakan persepsi negatif tentang provinsi di kalangan investor dan telah mengurangi pertumbuhan bisnis.
“Korupsi dimana-mana, birokrasi enggak efisien, hukumnya tidak ditegakkan lemah banget, terus juga suap,” kata Bima Yudho.
Alasan terakhir adalah ketergantungan kepada sektor pertanian. Ekonomi Lampung hanya bergantung terhadap sektor pertanian terutama kopi, karet, dan kelapa sawit.
Sesuai Fakta
Sejumlah kalangan meyakini apa yang dikatakan Bima memang sesuai fakta. Masalah infrastruktur transportasi seperti jalan rusak di Provinsi Lampung, diketahui memang menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai.
Contoh jalan rusak di daerah Mesuji, Tulang Bawang, Way Kanan, serta sejumlah daerah lainnya. Beberapa wilayah, seperti di Rumbia, Lampung Tengah bahkan pernah viral di media sosial. Ruas jalan yang awalnya aspal berubah menjadi kubangan lumpur.
Terkait sistem pendidikan dan kasus korupsi pun faktanya memang ada. Ketua KPK Firli Bahuri dalam orasi ilmiah di Novotel Lampung pada April 2022, sempat menyebut Provinsi Lampung menempati urutan ke-9 dalam data sebaran perkara korupsi sepanjang 2004-Januari 2022.
Tak lama berselang, tepatnya pada Agustus 2022, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Enam dari delapan orang yang terjaring merupakan kalangan akademisi dari Universitas Lampung termasuk Karomani selaku rektor.
Karomani didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp6,98 miliar dan 10.000 dolar Singapura sejak tahun 2020. Ia dibantu wakil rektor dan ketua senat saat itu untuk mengumpulkan uang suap. Gratifikasi diberikan agar Karomani meloloskan mahasiswa titipan di Universitas Lampung.
Lalu, pengungkapan kasus korupsi proyek pembangunan Jalan Ir Sutami yang melintasi Kota Bandar Lampung, Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan, hingga Sribawono Kabupaten Lampung Timur oleh Ditkrimsus Polda Lampung akhir Desember lalu. Kasus korupsi tersebut diduga merugikan negara hingga Rp29,2 miliar.
Belum lagi kasus korupsi retribusi sampah yang terkuak belum lama ini.
Dianggap Terlalu Berlebihan
Namun, Gindha menganggap narasi yang disampaikan Bima Yudho terlalu berlebihan dan tidak berbasis data. Contohnya dalam penyebutan proyek-proyek mangkrak.
“Perlu kita pahami bahwa di Provinsi Lampung tidak banyak proyek mangkrak, sehingga menggunakan kata ‘banyak proyek mangkrak’ adalah narasi yang berlebihan. Tidak didukung data valid terkait ini, sehingga informasi cukup menyesatkan di kalangan publik,” kata Gindha dalam keterangan resminya di laman ghindaansoriwayka.com yang dikutip 18 April 2023.
Narasi lain yang cenderung menyesatkan juga mengenai aliran dana pemerintah pusat yang mencapai ratusan miliar dan Kota Baru telah menjadi tempat jin buang anak.
“Yang bersangkutan membangun opini publik tanpa melalui riset terlebih dahulu, sehingga dengan ketidaktahuannya menunjukkan yang bersangkutan bicara tanpa dasar dan tidak sesuai fakta,” ucapnya.
Begitupun mengenai sistem pendidikan lemah dengan banyak sekali kecurangan yang diutarakan Bima. Ini merupakan fitnah luar biasa karena narasi yang dibangun tidak detail.
“Tentu berpotensi merugikan orang-orang yang bekerja di sektor pendidikan,” lanjut Gindha.
Lagipula, problematika yang disampaikan Bima bukan hanya terjadi di Provinsi Lampung saja, tetapi juga di seluruh daerah.
"Apalagi kita baru bangkit 2 tahun dari Covid, jadi wajar kemudian pembangunan terbatas, bos," katanya dalam video yang beredar di media sosial.
Atas dasar itulah, Gindha menganggap Bima Yudho telah menyebarkan berita bohong yang menyesatkan dan berpotensi menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat Provinsi Lampung.
Perbuatan yang bersangkutan telah memenuhi rumusan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Seperti dalam ketentuan Pasal 14 angka (2) dan Pasal 15. Juga, telah melakukan pelanggaran UU ITE.
“Namun, kami garis bawahi, yang kami laporkan hanya pernyataan dajjal. Kritik lain tidak kami laporkan, justru kami berterimakasih. Itu menjadi penyemangat untuk pembenahan,” ucap Gindha menegaskan.
Laporan itu hanya sebagai cara agar masyarakat lebih memahami tata cara menyampaikan aspirasi yang benar itu seperti apa.
“Saya akan memberikan pendidikan yang benar. Bagaimana cara menyampaikan aspirasi yang benar. Dengan menggunakan kata-kata yang bermartabat,” jelas Gindha.
Persepsi Tentang Fakta
Guru besar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan fakta bersifat netral. Penilaian terhadap fakta adalah tergantung dari perspektif mana seseorang melihatnya.
Contoh jelas dalam sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro ketika melawan Jenderal De Kock.
“Kalau fakta itu ditulis oleh Belanda, mereka akan mengatakan De Kock adalah pejuang sedangkan Pangeran Diponegoro adalah ekstrimis. Tapi kalau ditulis dari fakta Indonesia, De Kock adalah penjajah, dan Pangeran Diponegoro adalah pejuang. Jadi, fakta dengan perpektif berbeda hasilnya juga akan berbeda,” ucapnya seperti dilansir dari akun YouTube Kasus Hukum Indonesia.
Begitu pula dalam kasus kritikan tersebut. Fakta yang dimiliki Bima Yudho dan Gindha jelas berbeda. Namun, Bima punya hak konstitusional untuk menyatakan itu.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kendati demikian, tetap ada batasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 tertera, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Artinya, kata Hendry Julian Noor, meski kritik terhadap pemerintah merupakan hal lazim dan menjadi cerminan kehidupan yang demokratis, sebagai bangsa yang menganut nilai ketimuran ada baiknya nilai kesopanan dan kesusilaan tetap dijunjung tinggi.
“Kesopanan dan kesusilaan adalah nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini pun turut dipertimbangkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Hendry, Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam opininya di Kompas.
Yang terpenting juga, pejabat publik tidak boleh antikritik. Kritik merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja para pejabat.