Waspada, Ancaman Pedofilia Sangat Nyata

JAKARTA – Pengungkapan kasus pelecehan seksual, pembuatan pornografi, dan penjualan konten pornografi anak oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada 27 Maret 2023 menjadi bukti nyata bahwa pedofilia masih terus mengancam masa depan anak-anak Indonesia.

Pengakuan salah satu tersangka berinisial FR (25) bahkan sangat mencengangkan. Konten pornografi anak lebih laris ketimbang konten pornografi orang dewasa. Tersangka bahkan bisa meraup pendapatan hingga Rp5 juta per bulan.

Pengakuan tersebut sudah semestinya menjadi perhatian. Pedofil adalah sebutan untuk orang yang memiliki nafsu seksual terhadap anak-anak di bawah usia 14 tahun.

Gangguan seksual yang disebut pedofilia ini umumnya lebih banyak dialami laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan dialami oleh wanita. Seperti kasus Yunita Sari Anggraini (20), tersangka pencabulan 17 anak di Kota Jambi.

Korban pedofil umumnya adalah anak yang ia kenal di lingkungannya. Berawal dengan memberi perhatian lebih. Setelah merasa dekat, pedofil akan melanjutkan dengan percakapan intim dan sentuhan seksual. Pada tahap ini, anak akan  merasa sungkan atau takut untuk menolak.

Sejumlah anak dari Pusat Layanan Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PLKSAI) Kota Solo mengusung poster anti kekerasan terhadap anak saat aksi dalam kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Solo, Jawa Tengah pada 2019. (Antara/ Maulana Surya/pd)

Seperti yang dilakukan tersangka lainnya FH (23). Tersangka, menurut Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Adi Vivid Agustiadi Bachtiar, melancarkan aksinya dengan mengakrabkan diri terlebih dahulu dengan korban yang masih berusia di bawah umur dengan kerap memberikan makanan ringan dan uang.

“Selanjutnya, pelaku melakukan tindakan asusila kemudian oleh tersangka direkam,” katanya.

Anak-anak yang kesepian, tertekan, atau kurang mendapat perhatian dari orang tua adalah kelompok anak yang paling rentan menjadi korban pedofilia.

Meski kebanyakan pedofil tidak melakukan pemaksaan kontak seksual, tetapi perilakunya tetap bisa membawa dampak buruk pada kesehatan mental korban.

Anak korban pedofil biasanya akan merasa stres atau depresi, bahkan hingga mengalami gangguan kecemasan. Ketika trauma tidak terobati tuntas, bukan tidak mungkin, korban juga akan mengalami pedofilia ketika beranjak dewasa.

Banyak pelaku yang pada masa kecilnya menjadi korban, termasuk FH. Dari hasil pemeriksaan, dia ternyata juga memiliki trauma karena pernah mengalami pelecehan seksual ketika usia anak-anak.

Pengawasan Orangtua

Pencegahan pedofilia bisa dilakukan dengan memberikan edukasi seksual pada anak-anak sejak dini. Sebaiknya, orangtua tidak menganggap pendidikan seksual adalah hal yang tabu untuk anak. Jadi, anak bisa menentukan sikap terbaik ketika harus berurusan dengan pelaku pedofilia.

“Misalnya, dengan memberi tahu bagian tubuh anak yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Lalu, pastikan anak tidak mudah dekat dengan orang dewasa yang baru ditemuinya,” kata psikolog anak dan remaja Novita Tandry kepada VOI pada 9 Maret lalu. 

Selain itu, orangtua juga perlu mengawasi penggunaan gawai. Perkembangan teknologi digital yang kian masif memberi celah untuk penyebaran konten-konten pornografi. Ini harus diwaspadai paparan pornografi pada usia remaja bisa memberikan dampak buruk terhadap proses tumbuh kembang.

Seperti halnya narkoba, kecanduan pornografi juga mengakibatkan kerusakan otak yang cukup serius. Melansir laman RSUP Dr. Sardjito, pornografi bukan hanya merusak otak dewasa tetapi juga otak anak. Kerusakan otak tersebut sama dengan kerusakan otak pada orang yang mengalami kecelakaan mobil dengan kecepatan sangat tinggi.

Kerusakan otak yang diserang oleh pornografi adalah Pre Frontal Corteks (PFC), bagi manusia bagian otak ini merupakan salah satu bagian terpenting. Berfungsi untuk menata emosi, memusatkan konsentrasi, memahami dan membedakan benar dan salah, mengendalikan diri, berfikir kritis, berfikir dan berencana masa depan, membentuk kepribadian, serta berperilaku sosial.

Orangtua perlu mengawasi penggunaan gawai terhadap anak, karena perkembangan teknologi digital yang kian masif memberi celah untuk penyebaran konten-konten pornografi. (Antara)

Awalnya saat melihat pornografi, reaksi yang ditimbulkan adalah perasaan jijik, hal ini terjadi karena manusia mempunyai sistem limbik, sistem ini pula yang mengeluarkan hormon dopamin untuk menenangkan otak. Di sisi lain, dopamin juga akan memberi rasa senang, bahagia sekaligus kecanduan.

Bila sudah candu maka akan timbul rasa penasaran, seseorang akan melihat yang lebih vulgar, otomatis dopamin semakin banyak dan merendam PFC hingga mengecil dan lama-lama menjadi tidak aktif.

Akibatnya sangat berbahaya, terutama untuk mental anak dan remaja. Kecenderungan terjadinya perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual sangat besar. Belum lagi dampak-dampak sosial lainnya, seperti enggan belajar, sulit berkonsentrasi, dan lainnya.

Tentu ini harus menjadi perhatian bersama. Sejatinya, kata Novita, peran orangtua dan keluarga dalam kehidupan remaja sangat penting, terlebih pada era digital saat ini. Remaja adalah usia dimana seorang anak akan mengalami perubahan secara fisik dan psikis.

“Memang tantangannya sekarang lebih berat. Cara terbaik adalah menyediakan waktu yang berkualitas untuk anak. Sehingga, anak bisa sharing, bisa cerita semua hal yang dialaminya. Orangtua harus menanggapi semua cerita anak dengan bijaksana. Selipkan pelajaran-pelajaran berarti untuk anak,” imbuh Novita.