Menakar Peluang Partai Prima Menjadi Kontestan Pemilu 2024
JAKARTA – Menjadi kontestan Pemilu 2024 adalah harga mutlak. Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) siap mencabut gugatan perdata atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat asal tuntutan itu dipenuhi.
Bila tidak, Prima kemungkinan akan meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeksekusi putusannya.
Isi putusan pada 2 Maret 2023 itu antara lain menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun, 4 bulan, 7 hari.
“Saat ini kami masih melakukan proses verifikasi perbaikan dokumen sesuai keputusan Bawaslu. Kalau KPU tetap tidak mengesahkan Prima ikut di Pemilu 2024, kami akan ambil langkah hukum pastinya,” kata Sekjen Prima Dominggus Oktavianus dalam jumpa pers di kantor DPP Prima, Jakarta Pusat pada 21 Maret 2023.
“Salah satu opsi adalah mengajukan permohonan eksekusi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu opsi ya, tentu ada opsi lain,” Dominggus menambahkan.
Sebab, alasan KPU yang menyebut Prima tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi di 22 provinsi tidak sesuai dengan kenyataan atau cacat formil.
Prima sudah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi atau paling sedikit di 75 persen jumlah kabupaten/kota, memiliki kepengurusan paling sedikit 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota, dan memiliki anggota paling sedikit seribu orang.
“Data itu sudah masuk 100 persen ke sistem informasi partai politik (SIPOL) KPU, kemudian tiba-tiba malah turun jadi 97 persen. Jadi, kemungkinan ada error di sistem itu sehingga KPU menyatakan Prima tidak bisa lanjut ke verifikasi faktual,” kata Dominggus dalam konferensi pers Prima sebelumnya, 3 Maret 2023.
Bawaslu pun sudah memerintahkan KPU memberi kesempatan kepada Prima untuk mengunggah ulang ke SIPOL, tetapi KPU pada 18 November 2022 tetap menyatakan tidak lolos verifikasi.
Gugatan atas sengketa tersebut kemudian berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan sampai dua kali meski akhirnya tetap kalah. Setelah itu, barulah berlanjut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menang.
Namun, dasar gugatan adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU, bukan sengketa Pemilu.
"Intinya, sengketa dengan KPU masih dalam proses belum sampai pada akhir. Kita anggap (putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) sebagai satu penjaga ini semua akan berjalan pada rel yang tepat. Apabila (verifikasi ulang) sudah selesai nanti, sesuai dengan prinsip-prinsip kejujuran, tentu kasus yang sedang berjalan di PN akan kami cabut," Wakil Ketua Umum Prima, Alif Kamal menambahkan.
Jalan Terjal
Bila nantinya KPU tetap tak mengubah keputusannya, jalan Prima menjadi kontestan Pemilu 2024 diprediksi akan semakin terjal.
Sebab, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang salah satu poinnya harus menunda Pemilu dianggap sebagai putusan yang keliru.
Permasalahan gugatan mengenai perbuatan melawan hukum di bidang tindakan pemerintahan, menurut dosen departemen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi Antonius merupakan kewenangan PTUN bukan pengadilan negeri.
Seharusnya pengadilan negeri melimpahkannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena bukan yurisdiksinya. Sesuai dengan PerMA No.2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
Pemerintahan dalam aturan tersebut dimaknai luas sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, termasuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan pejabat negara lainnya.
“Termasuk juga KPU. Seharusnya bukan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili, perlu diajukan banding dengan mendasarkan pada ketentuan Peraturan MA tersebut,” kata Andi seperti dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada.
Menurutnya, besar kemungkinan putusan pengadilan tinggi akan membalik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari pun berpendapat sama. Aturannya sangat jelas. Meskipun pengadilan negeri sudah menjalankan perkara tersebut karena luput atau khilaf misalnya, maka harus diputus tidak dapat diterima.
“Jadi, ini pelanggaran. Putusan itu juga telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan adanya UUD ini, maka vonis pengadilan cacat karena melanggar konstitusi,” ucapnya dalam diskusi virtual pada 4 Maret lalu.
Lagipula, tambah Feri, "Kalau memang masalahnya soal verifikasi administrasi, kenapa tiba-tiba meloncat ke masalah hukum publik dengan menunda Pemilu.”
Baca juga:
Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam tulisannya pada Februari 2022 pun sudah menegaskan, penundaan Pemilu 2024 hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan tiga cara, yakni amandemen UUD 1945, dekrit Presiden, dan konvensi ketatanegaraan.
Menurut Yusril, gugatan yang dilayangkan Prima adalah gugatan perdata terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
“Sehingga, putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja. Tidak mengikat partai-partai lain, baik calon maupun yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu,” jelasnya.