Heboh Transaksi Janggal Rp349 Triliun di Kemenkeu, Pencucian Uang Harus Dibuktikan di Pengadilan
JAKARTA - Dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp349 triliun sebagaimana dilaporkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, disebut harus segera diluruskan. Alasannya, tidak semua transaksi dalam jumlah besar merupakan TPPU, harus ada pembuktian dulu di pengadilan.
“Ini tak perlu terjadi jika semua pihak patuh dan tunduk dengan aturan. Tidak semua transaksi dalam jumlah besar itu pencucian uang. Ini bahaya. Yang bisa memutuskan apakah itu pencucian uang atau bukan, hanya hakim. Bukan Menko Polhukam, bukan pula Menteri Keuangan, apalagi Kepala PPATK,” kata pengacara senior Lucas dalam keterangan tertulis, Jumat, 24 Maret.
Menurut Lucas, dalam tindak pidana pencucian uang setidaknya terdapat dua varian kejahatan, yakni tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana pencucian uang itu sendiri, yang bisa disebut sebagai tindak pidana lanjutan (follow up crime).
Karenanya, kedudukan tindak pidana pencucian uang harus dilihat berdasarkan terjadinya tindak pidana tersebut secara faktual.
“Jadi harus ada predicate crime dulu. Ini yang menjadi sumber asal dari harta haram (dirty money) apakah itu hasil korupsi, perjudian, atau uang narkoba yang kemudian dicuci. Ini harus dibuktikan dulu oleh pengadilan, baru kemudian bisa disebut sebagai praktik pencucian uang,” jelas Lucas.
Dengan kata lain, lanjut Lucas, Kepala PPATK, Menteri Keuangan Sri Mulyani, maupun Menko Pulhukam Mahfud MD tidak bisa serta merta menyebut itu sebagai praktik pencucian uang.
“Jika semua transaksi yang mencurigakan dilihat sebagai sebagai pencucian uang, itu kesalahan besar yang berakibat fatal. Kita akan jadi tertawaan dunia. Indonesia bisa menyandang predikat negara surganya pencucian uang,” sambjung Lucas.
Dia menyarankan, agar masalah ini selesai, segera usut dan limpahkan kasusnya ke pihak penyidik.
“Sekali lagi, semua tindakan dugaan perkara pencucian uang harus dikembalikan ke predicate crime terlebih dulu. Barulah jika kemudian jika di pengadilan terbukti bersumber dari suatu hasil kejahatan, bisa disebut pencucian uang. Jadi secara tegas dan tidak bisa terbantahkan bahwa TPPU itu haruslah melalui putusan hakim di pengadilan, dan bukan pada ranahnya PPATK atau Kementerian lainnya,” pungkas Lucas.
Baca juga:
- Persidangan Mario Dandy Satriyo-Shane Lukas Semakin Dekat, Berkas Perkara Dilimpahkan ke Kejati DKI
- Presiden Jokowi Minta Penjelasan Meningkatnya Kasus Kekerasan di Papua
- Pemerintah Ubah Cuti Bersama Lebaran Jadi 19-25 April 2023
- Tim Kecil NasDem, PKS dan Demokrat Bertemu Bahas Piagam Koalisi Perubahan
Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menegaskan transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Itu hasil analisis dan pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan,” ucap Ivan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara PPATK dengan Komisi III DPR dilansir ANTARA, Selasa, 21 Maret.
Penegasan tersebut dia sampaikan ketika menjawab pertanyaan anggota DPR Desmond J Mahesa yang meminta penegasan kepada Ivan mengenai apakah transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun tersebut merupakan TPPU atau bukan.
Ivan mengklarifikasi transaksi mencurigakan ini tidak seluruhnya terjadi di Kementerian Keuangan, tetapi terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal.
Ivan memberikan contoh, ketika terjadi tindak pidana narkotika, seseorang akan menyerahkan kasus tersebut kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) karena tindak pidana tersebut terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari BNN.