Suap Bansos, KPK Periksa Dirjen Kemensos

JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Dirjen Linjamsos Kemensos) Pepen Nazaruddin, Rabu, 13 Januari.

Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan, Pepen akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap distribusi bansos COVID-19 untuk Jabodetabek.

"Yang bersangkutan akan dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka AIM," kata Ali kepada wartawan, Rabu, 13 Januari.

Selain Pepen, KPK juga memereka beberapa saksi lain. Dia adalalah bos vendor bansos, Direktur Utama PT. Famindo Meta Komunika, Ubayt Kurniawan, dan Agustri Yogasmara swasta. "Mereka juga dipanggil sebagai saksi," ujar dia.

Adapun Pepen sebelumnya juga sudah diperiksa oleh KPK. Dia sebelumnya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Dalam kasus ini KPK menetapkan sejumlah tersangka Antara lain mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.

Kasus ini berawal dari pengadaan bansos berupa paket sembako di lingkungan Kementerian Sosial senilai Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dua periode.

Kemudian, politikus PDIP ini menunjuk Matheus dan Adi sebagai PPK. Dalam pelaksanaan proyek, keduanya melakukannya degan cara penunjukkan langsung terhadap rekanan. Adapun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.

Matheus dan Adi lantas membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus.

Dalam perkara ini KPK kemudian menduga Juliari menerima fee sebesar Rp8,2 miliar pada pelaksanaan paket bansos periode pertama. Sementara pada pelaksanaan kedua, dia diduga menerima fee sebesar Rp8,8 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadinya.