Susul AS dan UE, Belgia Larang TikTok di Perangkat Pemerintah

JAKARTA - Setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), kini giliran Belgia yang melarang TikTok dari ponsel pemerintah karena kekhawatiran tentang keamanan dunia maya, privasi, dan informasi yang salah.

Perdana Menteri Alexander de Croo melalui situs web resminya mengatakan, aplikasi berbagi video milik ByteDance yang berbasis di China itu untuk sementara akan dilarang dari perangkat yang dimiliki atau dibayar oleh pemerintah federal Belgia setidaknya selama enam bulan.

De Croo menambahkan, dewan keamanan nasional Belgia telah memperingatkan tentang risiko yang terkait dengan sejumlah besar data yang dikumpulkan oleh TikTok, dan fakta dimana perusahaan tersebut diharuskan untuk bekerja sama dengan dinas intelijen China.

"Itulah kenyataannya, (dan) mengapa masuk akal untuk melarang penggunaan TikTok pada ponsel yang disediakan oleh pemerintah federal. Keamanan informasi kami harus diutamakan," ujar de Croo.

Larangan ini, menurut de Croo didasarkan pada peringatan dari layanan keamanan negara dan pusat keamanan sibernya, di mana aplikasi tersebut dapat mengambil data pengguna dan mengubah algoritma untuk memanipulasi umpan berita juga kontennya.

Sama seperti pemerintah AS, de Croo memperingatkan TikTok dapat dipaksa menjadi mata-mata untuk Beijing. “Kami berada dalam konteks geopolitik baru di mana pengaruh dan pengawasan antar negara telah bergeser ke dunia digital,” kata de Croo.

“Kita tidak boleh naif. TikTok adalah perusahaan China yang saat ini wajib bekerja sama dengan dinas intelijen. Ini adalah kenyataannya. Melarang penggunaannya pada perangkat layanan federal adalah hal yang masuk akal," imbuhnya.

Menanggapi langkah De Croo, TikTok kecewa dengan penangguhan ini, yang didasarkan pada kesalahan informasi mendasar tentang perusahaannya, seperti dikutip dari NBC News, Senin, 13 Maret.

"(Kami) bersedia untuk bertemu dengan pejabat untuk mengatasi masalah apa pun dan meluruskan kesalahpahaman," ungkap TikTok.

TikTok sendiri telah memindahkan kantor pusatnya ke Singapura pada 2020. Perusahaan berusaha menjauhkan diri dari akar China dan menunjuk pada langkah-langkah baru untuk meredakan kekhawatiran dengan menyimpan data pengguna di pusat data Eropa.

"Pemerintah China tidak dapat memaksa negara berdaulat lain untuk menyediakan data yang disimpan di wilayah negara tersebut," jelas TikTok.