Roket Cetak 3D Pertama di Dunia Gagal Meluncur ke Orbit Bumi di Menit Terakhir, Kenapa?
JAKARTA - Peluncuran roket cetak 3D pertama di dunia terpaksa dibatalkan pada menit terakhir kemarin, hal ini karena masalah suhu di tahap atas peluncur.
Roket yang dijuluki Terran 1 itu dirancang oleh Relativity Space yang berbasis di California, Amerika Serikat (AS), dijadwalkan akan diluncurkan ke orbit dari Cape Canaveral Space Force Station, Florida, Amerika Serikat (AS).
Saat diluncurkan, Terran 1 tidak membawa muatan sama sekali, perusahaan hanya ingin menguji coba apakah roketnya bisa sampai ke orbit Bumi.
Tetapi dengan hitungan mundur lebih dari satu menit, komputer penerbangan langsung dihentikan dan perusahaan membatalkan peluncuran sehari setelah mencoba memperbaiki masalah.
Pada laman Twitter resminya, Relativity Space men-tweet upaya peluncuran dibatalkan karena melebihi batas peluncuran untuk kondisi termal propelan.
"Saat menggunakan gas alam cair, metana membutuhkan waktu untuk mencapai konsentrasi yang tepat. Inilah mengapa upaya kami berikutnya akan dilakukan beberapa hari dari sekarang," tweet @RelativitySpace.
“Tim bekerja dengan rajin menuju jendela peluncuran kami berikutnya dalam beberapa hari mendatang,” tambahnya.
Relativity Space mengonfirmasi di Twitter, peluncuran berikutnya akan berlangsung pada Sabtu, 11 Maret dari pukul 13:00 hingga 16:00 ET.
Baca juga:
Sebelumnya diwartakan, misi tersebut akan menguji teknologi pencetakan 3D milik Relativity Space, yang menggabungkan pencetakan logam 3D, Kecerdasan Buatan (AI), dan robot otonom untuk membuat roket dari bahan mentah dalam waktu 60 hari.
Roket itu tingginya sekitar 35 meter, yang menjadikannya roket orbit terkecil di industri, dan 85 persen massanya dicetak 3D, seperti dikutip dari TWT.
Selain itu, Terran 1 dirancang untuk mengangkat hingga 1.250 kilogram beban ke orbit rendah Bumi, dan perusahaan menetapkan harga 12 juta dolar AS (Rp185 miliar) per penerbangan.
Sebagai perbandingan, roket Falcon 9 milik SpaceX dapat mengangkat lebih dari 22.000 kilogram ke orbit dengan biaya sekitar 67 juta dolar AS (Rp1,03 triliun) per penerbangan.