Perjalanan Sriwijaya Air Bersama Garuda Indonesia, Sempat Bolak-Balik Alami Turbulensi Hubungan

JAKARTA – Sriwijaya Air diketahui sempat mempunyai hubungan mesra dengan maskapai milik pemerintah, yakni Garuda Indonesia Group terkait dengan Kerja sama operasi (KSO).

Saat itu pada November 2018, Sriwijaya Air disebutkan memiliki sejumlah kewajiban pembayaran kepada Garuda lewat anak usaha PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk. (GMF) terkait dengan perawatan pesawat.

Sriwijaya menyebut bahwa langkah strategis perusahaan saat itu adalah untuk memastikan kegiatan operasional dapat berjalan dengan lancar. Adapun, Garuda mengakui bahwa kemitraan itu merupakan upaya yang dilakukan perseroan guna memastikan Sriwijaya Air dapat memenuhi kewajibannya.

Tidak hanya Sriwijaya Air, PT Nam Air yang merupakan salah satu lini usaha Sriwijaya juga masuk dalam skema KSO kedua belah pihak.

Dalam perjalanannya, Pada 24 September 2019 GMF mulai mencopot mesin dan beberapa properti dari badan pesawat Sriwijaya, serta menghentikan layanan perawatan pesawat  sebagai buntut dari tunggakan biaya yang belum  dipenuhi. Sikap GMF tersebut tertuang dalam surat bernomor GMf/DB-2070/19.

Tidak lama berselang, pada 1 Oktober 2019 Sriwijaya dan Garuda setuju untuk rujuk dan kembali melanjutkan kerja sama operasional dengan pembaharuan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Kemudian, perpecahan dua maskapai dalam negeri ini kembali muncul. Pada 7 November 2020 berhembus kabar bahwa Sriwijaya dan Garuda pecah kongsi (lagi).

Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, keretakan dua airlines nasional itu bersumber dari pihak yang menjadi penyewa pesawat Sriwijaya (lessor).

Garuda menjelaskan bahwa kerja sama dengan maskapai milik keluarga Chandra Lie itu hanya berskema business-to-business. Adapun, kewajiban Sriwijaya dengan pihak lessor sepenuhnya tanggung jawab perusahaan dan bukan bagian dari kepentingan Garuda.

Garuda dikatakan hanya berusaha mengamankan aset dan piutang negara yang melekat pada Sriwijaya.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, masalah utang Sriwijaya Air perlahan mulai mencuat pasca ‘perceraian’ kedua dengan perusahaan BUMN tersebut.

Pada awal 2020, Sriwijaya Air mulai membuka diri atas kondisi keuangan perusahaan. Maskapai yang mulai berkegiatan operasi pada 2003 itu membenarkan bahwa saat ini Sriwijaya tengah memiliki kepada sejumlah pihak.

Direktur Direktur Utama Sriwijaya Air Group Jefferson I. Jauwena menyebut bahwa informasi terkait utang perusahaan yang saat ini beredar di masyarakat merupakan klaim sepihak debitur.

“Untuk itu kami perlu memastikan dengan menunjuk auditor independen apakah utang yang ditagihkan tersebut wajar atau tidak,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Jakarta, 20 Januari 2020.

Adapun, informasi mengenai nilai kewajiban Sriwijaya Air yang saat ini diketahui adalah berjumlah Rp2,02 triliun pada 2019 lalu. Angka tersebut terdiri dari tunggakan kepada GMF Rp616 miliar, Pertamina Rp846 miliar, serta PT Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp563 miliar.