Sejumlah Pekerjaan Rumah yang Harus Diselesaikan Kapolri Pengganti Idham Azis

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sejumlah hal yang harus diperhatikan dan diperbaiki oleh pengganti Kapolri Jenderal Idham Azis yang akan memasuki masa pensiun pada Februari.

Melalui keterangan tertulisnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian bagi calon pengganti Idham ke depan seperti agenda pembenahan internal dan agenda penindakan kasus korupsi ke depannya bisa berjalan maksimal. Hal ini menjadi penting karena selama ini Korps Bhayangkara kerap mendapatkan presepsi negatif dari publik.

"Institusi Polri selama ini masih dipersepsikan negatif oleh publik terutama berkaitan dengan komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia dalam keterangannya yang dikutip Senin, 11 Januari.

Lebih lanjut, ada berbagai sorotan yang disampaikannya untuk menjadi pekerjaan rumah bagi calon kapolri mendatang. Termasuk soal integritas anggota kepolisian karena sejumlah kasus korupsi justru melibatkan aparat kepolisian yang seharusnya menjadi penegak hukum.

Dia memaparkan, setidaknya ada sembilan Jenderal polisi yang sudah terseret kasus korupsi besar di Indonesia. Di antaranya Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo yang tersandung dugaan penerimaan suap yang diberikan oleh Djoko Tjandra saat masih buron.

Untuk memperbaiki integritas ini, ada sejumlah hal yang harus dilakukan. Salah satunya adalah mewajibkan jajarannya melaporkan harta kekayaan (LHKPN) kepada KPK secara rutin.

Karena berdasarkan data yang mereka miliki, pada pertengahan 2019 lalu dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor, 12.779 di antaranya tidak melakukannya.

"Pelaporan LHKPN ini menjadi hal yang penting karena dengan kepatuhan anggota kepolisian maka Kapolri dapat turut memantau jika ada lonjakan harta kekayaan yang tidak linear," tegasnya.

Hal selanjutnya yang bisa dilakukan calon Kapolri adalah memprioritaskan agenda pembenahan internal dengan cara membentuk satuan tugas untuk melakukan penindakan terhadap oknum korup. Satgas ini, kata Kurnia, bisa menjadi langkah menjawab keraguan publik saat polisi memeriksa kasus korupsi yang melibatkan kawan sejawat mereka sendiri.

Koordinasi antar penegak hukum

Masalah yang harus dihadapi selanjutnya oleh calon Kapolri adalah perihal koordinasi antar institusi penegak hukum. Kata Kurnia, hal ini sebenarnya menjadi masalah klasik karena ego sektoral di tiap institusi penegakan hukum dan hal ini beberapa kali ditunjukkan oleh Korps Bhayangkara ketika mereka mengusut kasus yang melibatkan perwira tinggi Polri.

"Diketahui, (saat ini, red) dua perwira tinggi Polri, Prasetijo Utomo dan Napoleon Bonaparte diproses hukum di kepolisian karena terlibat dalam menerbitkan surat jalan, surat bebas COVID-19, dan penghapusan red notice untuk Joko Tjandra. Namun alih-alih tanggap atas permintaan KPK, kepolisian justru tidak responsif memenuhi permintaan (supervisi, red) KPK," ungkapnya.

Sehingga, berkaca dari kejadian ini, calon Kapolri pengganti Idham harus mengambil inisiatif mengeluarkan aturan yang mewajibkan gelar perkara harus dihadiri pihak lain demi meningkatkan fungsi koordinasi. 

"Namun, untuk efisiensi dapat ditentukan indikator lain misalnya: minimal kerugian negara Rp1 miliar dan melibatkan aktor penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum. Poin ini penting," kata Kurnia.

Minim transparansi perkara

Mengutip Komisi Informasi Pusat (KIP), ICW mengatakan, pihak kepolisian minim soal transparansi data. KIP mencatat, kepolisian masuk ke dalam kategori cukup informatif dengan nilai 70,52. 

Namun, kata Kurnia, penilaian ini harusnya jadi evaluasi termasuk untuk calon Kapolri ke depan. Apalagi, publik sulit untuk mengakses perkembangan penanangan perkara yang tengah diselesaikan oleh Korps Bhayangkara.

"Situasi ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan, apalagi jika tanpa diikuti dengan pengawasan internal yang jelas dan ketat," ungkapnya.

Kaburnya Indikator promosi jabatan dan banyaknya polisi yang duduki jabatan publik

Kurnia mengatakan, selama ini banyak ditemukan anggota polisi yang bermasalah terhadap rekam jejaknya namun mendapatkan jabatan strategis. Hal ini kemudian dianggap menjadi salah satu persoalan yang kunjung rampung dalam reformasi kelembagaan kepolisian. 

"Salah satu persoalan yang tak kunjung tuntas dalam reformasi kelembagaan kepolisian adalah ketidakjelasan penilaian indikator promosi jabatan di lingkungan Polri," tegasnya.

Menurut dia, ke depan harus ada pengawasan ketat dan kebijakan dari Kapolri terpilih. Sehingga proses promosi jabatan dapat menjunjung tinggi nilai integritas, profesionalitas, partisipatif, akuntabel, dan independen.

Selain itu, makin banyaknya polisi yang menduduki jabatan di lembaga publik dianggap memperkuat dwifungsi Polri. Setidaknya, berdasarkan data yang dimiliki KontraS, ICW menyebut ada 30 anggota kepolisian yang menduduki jabatan di luar institusi dari Juni hingga Mei 2020.

"Hal ini patut menjadi perhatian bagi Kapolri terpilih, sebab, praktik tersebut bertentangan dengan Pasal 28 Ayat 3 UU Kepolisian. Aturan itu menyatakan, anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas," katanya.

"Jadi siapapun anggota kepolisian yang ingin menduduki jabatan publik dia mesti mengundurkan diri jika kelak terpilih," imbuh pegiat antikorupsi ini.

Menurunnya penindakan kasus korupsi

Berdasarkan catatan yang dimiliki ICW, Kurnia mengatakan penanganan korupsi di Korps Bhayangkara selalu menurun setiap tahun. 

Sepanjang 2019 misalnya, polisi hanya mengerjakan 100 kasus dengan 209 tersangka. Capaian itu menurun dari tahun sebelumnya, yakni 162 kasus dengan 337 tersangka.

Sehingga ke depan, perlu ada langkah konkret dari pihak kepolisian dan perlu ada dorongan tegas dari Kapolri terpilih untuk makin meningkatkan performa anak buahnya dalam menyelesaikan kasus korupsi.

"Mesti ada langkah konkret dari kepolisian. Misalnya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari penyidik Polri. Sehingga nantinya orientasi penilaian tidak hanya melandaskan pada kuantitas kasus tapi juga menyoal aspek kualitas itu sendiri," ungkapnya.

Potensi penyalahgunaan fungsi

Masalah terakhir adalah mengenai penyalahgunaan fungsi. Kata Kurnia, fungsi kepolisian saat ini terkesan tengah dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif dan melaksanakan kontra narasi terhadap kritik publik.

Hal ini, kata Kurnia, terlihat saat pemerintah dan DPR mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. "Narasi di atas dapat dicuplik pada saat Kapolri Jenderal Idham azis mengeluarkan surat telegram rahasia yang berisi 12 poin untuk merespon adanya unjuk rasa terhadap penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.

"Dalam alam demokrasi seperti ini, tindakan kepolisian tersebut tidak dibenarkan. Jangan sampai institusi penegak hukum dimanfaatkan cabang kekuasaan untuk mendukung sebuah kebijakan terlebih yang tak berkaitan dengan keamanan masyarakat," tambahnya.

Diketahui, Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sekaligus Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memaparkan lima nama Komisaris Jenderal (Komjen) yang direkomendasikan untuk menjabat sebagai Kapolri. Mereka yang dianggap paling memenuhi syarat.

"Ini lima Komjen yang diajukan kepada Presiden oleh Kompolnas untuk dipilih sebagai calon Kapolri. Gatot Edy Pramono, Boy Rafli Amar, Listyo Sigit Prabowo, Arief Sulistyanto, Agus Andrianto," ucap Mahfud dikutip dari akun twitternya, Jumat, 8 Januari.

Lima jenderal bintang tiga ini dianggap yang paling cocok menjabat sebagai Kapolri. Sebab, mereka memiliki rekam jejak dan presrati yang baik di Polri.

"Kelima orang itu dianggap memenuhi syarat profesionalitas, loyalitas, jam terbang," kata dia.

Adapun Jenderal Idham Aziz menjabat sebagai Kapolri usai dilantik Presiden Joko Widodo pada 1 November 2019. Dia bakal pensiun pada Februari 2021 setelah menjadi orang nomor satu Polri selama kurang lebih satu tahun dua bulan menggantikan Tito Karnavian yang dilantik menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri).