Menunggu Tindakan Tegas Usai Investigasi Komnas HAM Soal Peristiwa Penembakan Laskar FPI Rampung

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan investigasi mereka terkait Peristiwa Karawang atau peristiwa penembakan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Kini, sejumlah pihak meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Kapolri melakukan tindak lanjut terhadap anggotanya yang terlibat dalam kejadian yang menewaskan enam orang tersebut.

Setelah menyelesaikan investigasi mereka, Komnas HAM kemudian memaparkan temuan mereka terkait peristiwa penembakan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang melibatkan anggota FPI dan pihak kepolisian. Mereka menemukan ada dua konteks peristiwa yang berbeda dalam satu kejadian penembakan tersebut.

Konteks peristiwa pertama, terjadi di Jalan Internasional Karawang hingga diduga mencapai KM 48 Tol Cikampek. Komnas HAM mengatakan, saat peristiwa ini terjadi saling serempet, saling seruduk, hingga baku tembak di antara pihak laskar FPI dan petugas kepolisian yang ditugaskan membuntuti Imam Besar FPI Rizieq Shihab dalam penyelidikan kasus pelanggaran protokol kesehatan.

Selanjutnya, terdapat konteks peristiwa kedua yang kemudian disebut Komnas HAM telah terjadi pelanggaran HAM di dalamnya. Sebab, sebanyak empat laskar FPI yang masih hidup saat dibawa polisi justru ditemukan tewas sesudahnya.

"Terkait peristiwa KM 50 ke atas, terdapat empat orang yang masih hidup dalam penguasaan petugas resmi negara yang kemudian ditemukan tewas sehingga peristiwa tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia," kata Komisioner sekaligus Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers di kantornya, Jumat, 8 Januari.

Atas temuan tersebut, tewasnya empat orang ini disebut Komnas HAM sebagai bentuk unlawful killing.

"Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa, mengindikasikan adanya tindakan unlawful killing terhadap empat orang laskar FPI," tegasnya.

Selanjutnya, Komnas HAM memaparkan sejumlah temuannya, termasuk temuan bagaimana mobil laskar FPI justru mengambil tindakan menunggu mobil petugas kepolisian yang merupakan awal terjadinya peristiwa ini.

>

Choirul memaparkan, sebenarnya dua mobil yang ditumpangi laskar FPI yaitu mobil minibus Toyota Avanza dan Chevrolette Spin dapat kesempatan untuk menjauh dari mobil petugas yang melakukan pembuntutan. Hanya saja, hal ini tidak mereka lakukan.

"Kedua mobil FPI berhasil membuat jarak dan memiliki kesempatan untuk kabur dan menjauh. Namun, (kedua mobil, red) mengambil tindakan untuk menunggu dan akhirnya mereka bertemu kembali dengan mobil petugas K 9143 EL serta dua mobil lainnya, yaitu B 1278 KJD dan B 1739 PWQ," ungkap Choirul.

Kejadian yang kemudian berujung pada saling kejar, saling serempet, dan aksi baku tembak antar mobil yang ditumpangi laskar FPI dengan mobil petugas kepolisian dianggap Komnas HAM mempunyai peranan penting. Sebab, jika sejak awal kedua mobil yang ditumpangi laskar FPI ini melarikan diri maka tak akan ada peristiwa yang mengakibatkan tewasnya enam orang tersebut.

"Kalau enggak ada proses menunggu, peristiwa KM 50 tidak akan terjadi," tegas Choirul.

Analisa ini juga bukan sembarangan diambil oleh tim yang dipimpinnya. Kata Choirul, Komnas HAM telah melakukan diskusi dengan psikolog forensik saat melakukan pemeriksaan barang bukti.

Dari paparan psikolog forensik, proses menunggu ini disebut sebagai adanya bentuk perlawanan laskar FPI pengawal Rizieq terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

Rekonstruksi kasus penembakan laskar FPI oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

"Kami merasa perlu untuk memanggil ahli psikologi forensik dan beliau mengatakan bahwa ini baseline-nya, baseline fighting," ujarnya.

Menunggu Langkah Lanjutan

Setelah Komnas HAM menyampaikan hasil investigasi mereka, KontraS melalui staf hukum mereka Andi Muhammad Rezaldy angkat bicara. Menurut organisasi pegiat HAM ini, hasil investigasi yang menyatakan telah terjadi unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI oleh petugas kepolisian adalah kesimpulan yang tepat.

"Ini merupakan simpulan yang tepat karena penggunaan sejata api (oleh pihak kepolisian, red) diduga tidak memperhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009," kata Andi dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Selain itu, dia menjelaskan, jika merujuk pada UN Basic Principles on The Use of Force and Fire Arms By Law Enforcement Official, penggunaan senjata api sebenarnya hanya diperbolehkan sebagai upaya akhir atau situasi luar biasa. Tujuannya pun bukan sampai membunuh, melainkan hanya untuk melumpuhkan.

Sehingga, dengan adanya simpulan ini, KontraS menilai, Jokowi harus mengambil tindakan tegas. Termasuk memerintahkan Kapolri mengambil langkah lanjutan terkait peristiwa ini.

"Presiden harus segera memerintahkan Kapolri untuk melakukan penyidikan agar aparat kepolisian yang bertanggung jawab dalam kasus ini dapat segera diadili melalui mekanisme peradilan pidana," ungkap Andi.

Permintaan serupa juga muncul dari Amnesty International Indonesia. Peneliti lembaga ini, Ari Pramuditya mengatakan proses hukum terhadap anggota kepolisian tetap perlu dilakukan. Sebab, meski anggota FPI diduga melakukan pelanggaran hukum maupun tindak pidana namun mereka tak seharusnya ditindak sedemikian rupa hingga meregang nyawa.

"Mereka tidak seharusnya diperlakukan demikian. Mereka (enam laskar FPI, red) tetap memiliki hak ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk mendapat peradilan yang adil demi pembuktian. Aparat keamanan tidak berhak menjadi hakim dan memutuskan untuk mengambil nyawa begitu saja," kata Ari.

Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menunjukkan pistol milik laskar khusus FPI pengawal Rizieq Shihab (Rizky Adytia/VOI)

Sehingga, hasil investigasi Komnas HAM ini harus segera ditindaklanjuti demi memastikan prosess hukum dilakukan secara akuntabel.

"Petugas keamanan yang diduga terlibat dalam tindakan extrajudicial killing tersebut harus dibawa ke pengadilan pidana secara terbuka. Tentunya, dengan memperhatikan prinsip fair trial tanpa menerapkan hukuman mati," pungkasnya.