Refleksi Pendidikan Sepanjang 2020: Dari Omnibus Law Hingga Ancaman Klaster COVID-19
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada enam masalah di sektor pendidikan sepanjang tahun 2020, yang bertepatan dengan masa pandemi COVID-19.
Sekjen FSGI, Heru Purnomo menyebut, masalah pertama adalah munculnya Pasal 65 Paragraf 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Pasal tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.
Sempat muncul kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja mendorong komersialisasi pendidikan. Namun, pemerintah membantah dan menyebut aturan ini hanya berlaku pada pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus. Sayangnya, menurut Heru, dikhawatirkan masih ada multitafsir dalam aturan tersebut.
"FSGI mendorong Pasal 65 Paragraf 12 untuk direvisi agar tidak menjadi pasal multi tafsir, dan mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjamin ekses kemudahan izin berusaha sektor pendidikan ini tidak disalahgunakan," kata Heru dalam keterangannya, Rabu, 30 Desember.
Masalah kedua adalah rencana asesmen nasional (AN) sebagai pengganti ujian nasional (UN) yang belum tersosialisasi secara detail.
Kata Heru, FSGI mendorong pemerintah untuk memulai melaksanakan AN pada tahun 2021 yang telah dirancang untuk memantau dan mengevaluasi sistem pendidikan nasional, menghasilkan pemetaan yang tepat, dan dapat digunakan untuk peningkatan sistem pendidikan
“FSGI mendorong ketentuan peraturan yang jelas terkait kebijakan AN dan secepatnya ketentuan tersebut disosialisasi ke sekolah-sekolah secara terstruktur dan masif,” jelasnya.
Baca juga:
Ketiga, FSGI menemukan banyak masalah dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi COVID-19. Masalah itu mulai dari siswa yang kesulitan belajar daring hingga turunnya minat belajar, bantuan paket intertet yang masih tidak merata, dan kurangnya pengawasan pelaksanaan PJJ.
"PJJ adalah hal baru bagi anak, orang tua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis," tuturnya.
Keempat, hibah Merdeka Belajar yang diserahkan PT Sekolah Cikal sebagai pemilik merek Merdeka Belajar kepada Kemendikbud belum jelas. Sebab, hanya dituangkan dalam surat kesepakatan penyerahan dan penggunaan bersama.
“Penyerahan hibah secara hukum harus ada akta hibah. Pengalihan hak ke hibah harus didaftarkan secara resmi, harus diumumkan, ada saksi dari Kemankumham, dan ada notaris yang mewakili negara," ucap Heru.
Kelima, banyak klaster COVID-19 yang ditemukan di pondok pesantren. FSGI menemukan 3.089 kasus positif dari klaster pondok pesantren. Sebanyak 99 persen kasus di antaranya merupakan santri.
Melihat tingginya kasus COVID-19 di pondok pesantren, FSGI mengingatkan pemerintah daerah harus hati-hati dalam membuka sekolah tatap muka, perlu kehati-hatian dan penyiapan sungguh-sungguh.
"Kalau daerah dan sekolah belum siap, tunda buka sekolah pada Januari 2021, terlebih di wilayah-wilayah yang baru selesai menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020 lalu. Perlu data kasus di wilayah tersebut, apalagi pascaliburan akhir tahun," tutur dia.
Keenam, penyiapan buka sekolah tatap muka membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu, jika mengandalkan dana BOS yang direlaksasi, maka tidak akan mencukupi. Sebab, dana BOS selama ini dibutuhkan untuk pembiayaan 8 standar nasional pendidikan.
"FSGI mendorong perlu ada kebijakan anggaran baru di pendidikan untuk penyiapan buka sekolah tatap muka di masa pandemi, yaitu melalui anggaran lain di luar dana BOS. Jika tidak, maka potensi sekolah menjadi kluster baru sangat besar," pungkasnya.