Pelonggaran Zero Covid Policy China Bak Pisau Bermata Dua bagi Ekonomi RI

JAKARTA – Pemerintah China pada awal tahun ini memutuskan untuk memilih pendekatan yang lebih terukur dalam menerapkan kebijakan zero covid policy.

Pasalnya, skema lockdown ala Tiongkok itu dinilai cukup menekan perekonomian. Indikasi itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi 2022 yang hanya sekitar 3 persen dari target 5,5 persen.

Perkembangan terbaru menunjukan Xi Jinping setuju untuk melakukan pelonggaran zero covid policy demi memacu kembali aktivitas produktif. Tujuannya mengakselerasi pertumbuhan yang sempat tertekan tahun lalu.

Keputusan China ternyata membawa dampak positif bagi ekonomi Indonesia.

Akan tetapi, kabar buruknya adalah situasi tersebut juga berpotensi memberi tekanan.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri.

“Pembukaan ekonomi China dari zero covid policy akan membawa dampak yang positif. Namun, ada risiko (dampak negatif) dalam medium dan long term,” ujarnya dalam pesan virtual di Instagram, Rabu, 18 Januari.

Adapun, sisi positif yang dimaksud Chatib adalah Indonesia berpeluang meningkatkan kinerja ekspor ke negara tersebut.

Pasalnya, China merupakan mitra dagang teratas untuk komoditas nonmigas dengan nilai 63,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 23 persen dari total keseluruhan.

Artinya, apabila kegiatan ekonomi China bangkit maka kebutuhan akan materi pendukung produksi ikut terdongkrak. Itu berpeluang memperbesar volume ekspor RI.

Di sisi lain, risiko yang dimaksud Chatib yaitu ancaman terhadap kenaikan harga komoditas, utamanya energi.

Seperti yang diketahui, dalam prinsip ekonomi disebutkan bahwa peningkatan permintaaan (demand) akan mendorong terjadinya kenaikan harga di sisi suplai.

Dengan kata lain, banderol minyak Cs dipastikan bakal ikut melonjak akibat terpengaruh tren permintaan China.

Ini menjadi masalah bagi RI lantaran masih mengimpor bahan bakar minyak demi mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Jika harga dasar minyak naik maka pemerintah harus merogoh kocek yang lebih dalam untuk biaya subsidi maupun kompensasi demi melindungi masyarakat.

Kemudian risiko lain yang harus dikelola Indonesia adalah terbangnya aliran modal dari dalam negeri ke China.

Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat pulihnya ekonomi China berarti kesempatan baik bagi investor menanamkan modal dan berinvestasi.